Tempat Terindah

764 118 8
                                    

"Bu, bangun. Sudah deket hotel." Ika membangunkan Ibu yang sejak tadi tertidur di bahunya.

"MasyaAllah, Ibu ketiduran."

"Iya, Ibu tidurnya enak banget. Capek ya, Bu?"

"Enggak, cuma ngantuk. Jam berapa ini, Ka?" tanya Ibu.

Ika melihat jam tangannya. "Jam sebelas kurang dua puluh, Bu."

"Astagfirullah, Ibu ketidurannya lama ya? Bapak baik-baik aja?" tanya Ibu.

"Bapak tidur juga dari tadi," jawab Ika.

"Ini tadi kata Pak Ustad nanti kita langsung umroh ya, Ka?"

"Istirahat dulu di hotel, Bu. Ustad bilang umrohnya tengah malam. Biar masjidnya nggak penuh."

"Nanti Ibu sekamar sama kamu lagi ya, Ka?"

"Sepertinya sih iya, Bu. Udah Ibu tenang aja, kalaupun sekamar dengan jamaah yang lain kan Ibu juga sudah kenal."

Bus rombongan jamaah mereka berhenti di depan sebuah hotel megah yang berseberangan dengan Masjidil Haram. Sangat dekat untuk bisa menikmati betapa indah dan benderangnya Rumah Allah. Ika membantu Ibu untuk turun, kemudian tak lama Bapak juga segera turun dari bus. Ika mengamati Masjidil Haram tak henti-henti, seperti anak kecil yang pertama kali menonton bioskop, tak mempercayai pandangannya akan kecantikan pemandangan di hadapannya, sekaligus takut jika ia berpaling semuanya hilang. Setelah seluruh jamaah turun dan bus pergi meninggalkan pelataran hotel, mereka digiring untuk memasuki lobi hotel dan menunggu para pembimbing umroh membagikan kamar. Ada waktu sekitar tiga jam untuk beristirahat sejenak, membersihkan diri, dan salat sebelum mereka menjalankan umroh.

"Mbak Ika," panggil Ustadzah Jamilah.

Ika bergerak menghampirinya.

"Ini kunci kamarnya ya, sekamar lagi sama ibunya di lantai delapan ya. Kalau mau langsung naik supaya Ibu bisa istirahat silahkan, ya." Ustadzah Jamilah menyerahkan kartu kamarnya.

"Iya, terima kasih," sahut Ika.

Ika menghampiri Ibu dan membantu menarik kopernya. "Sudah lah, Ka. Ibu bisa sendiri."

"Iya udah ga apa-apa, Bu. Nanti ibu kecapean malah nanti umrohnya nggak bisa bantuin Bapak," ujar Ika. "Bapak sudah naik ya, Bu?"

"Iya tadi Bapak duluan sama Pak Jamal. Ini kita dapet lantai berapa, Ka?" Ibu bertanya sambil melirik kunci di tangan Ika.

"Lantai delapan. Ayo Bu, itu mumpung liftnya masuh muat." Ika menyeret koper sambil terburu-buru menghentikan lift yang hendak menutup.

Untung saja mereka masih sempat masuk ke dalam lift. Jika tidak, mungkin mereka harus menunggu agak lama. Ika memperbaiki posisi kopernya agar tidak menutupi akses keluar masuk lift. Ibu yang berdiri di sebelahnya menjawil-jawil lengannya. Ika menengok ke arah Ibu yang berdiri terpaku dengan mata yang membelak seperti baru saha melihat hantu. Sayangnya lift sudah terlanjur menutup sebelum Ika mengetahui apa yang membuat Ibu terkejut.

Dalam beberapa dentingan mereka sampai di lantai delapan. Ika mendahului Ibu untuk mencari kamar mereka dan membukakan pintu. Kamar yang nyaman dengan sepasang kasur besar, lengkap dengan pemandangan Masjidil Haram yang terlihat jelas dari jendela. Ika meletakan koper dan melepas jilbabnya. Berjalan ke arah jendela yang menyajikan panorama indah.

"Ika," panggil Ibu. "Ka."

Ika menoleh, "kenapa, Bu?"

"Kamu tadi nggak lihat ya?"

"Lihat apa, Bu?" Ika membuka koper dan mengambil pakaian dalamnya.

"Itu tadi di depan lift pas kita baru naik."

Pulang pada PelukmuWhere stories live. Discover now