Chapter 2

278 17 4
                                    

Kiko memasuki ruangan kelasnya.
Dilihatnya teman-temannya sedang mengerjakan tugas dari dosen seminggu yang lalu. Begitu jelas di matanya ada yang panik kesana kemari untuk menyontek jawaban temannya ada juga yang santai tidak mengerjakan tugas dari dosen.
Kiko yang melihat perilaku teman-temannya  hanya bisa mengeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir sikap temannya masih seperti anak SMA yang mengerjakan tugas di dalam kelas.

"Udah kuliah seharusnya bisa berpikir dewasa, bukannya ngerjain tugas mendadak. Emang tahu bulat dadakan" batin Kiko.

Kiko melangkah menempati tempat duduknya. Saat ia hendak duduk ada seorang yang menepuk bahunya dari belakang. Kiko menoleh ke belakang, dilihatnya Irhas yang menepuk bahunya.

"Ada apa?" tanya Kiko cuek.

"Lu dah ngerjain tugas dari dosen?"

"Udah, emang lu belom?"

Irhas mengeleng pelan. Kiko sudah menduganya, Irhas memang tidak pernah mengerjakan tugas dari dosen karena Irhas emang tidak ada niatan untuk kuliah, dia kuliah hanya menuruti keinginan orang tuanya saja.

"Yang semangat bro, enggak boleh males. Kasihan orang tua lu yang biayain kuliah lu" Kiko mencoba menyemangati Irhas supaya dia semangat dalam kuliah dan tidak bermalas-malasan.

"Lu tau sendiri kan?  gua tuh ogah kuliah, gua tuh maunya langsung kerja."

"Hmm, orang tua lu kaya gitu karena mereka sayang sama lu. Mereka pengen kalo lu nanti lulus kuliah, lu dapet pekerjaan yang layak," ujar Kiko.

Marko datang  menghampiri Kiko dan Irhas mendengar bercakapan mereka berdua.

"Udah, udah. Percuma lu nasehatin dia, bakal sama aja," Marko menyahut pembicaraan keduanya.

Irhas merasa kesal dengan perkataan Marko yang ia rasa meremehkannya. Irhas mendorong tubuh Marko ke lantai dengan keras.

Marko tersungkur di lantai,  Irhas berjongkok menatap wajah Marko dengan tatapan tajam lalu Irhas menarik baju Marko dan mengancamnya.

"Awas lu macem-macem sama gua, pulang kuliah nanti habis lu sama gua," ancam Irhas.

Kiko yang melihat pertengkaran kedua temannya itu, akhirnya mencoba melerai keduanya.

"Sabar bro, enggak baik dendam-dendam kaya gitu," Kiko akhirnya angkat bicara.

"Habis gua kesel, dia nyamber pembicaraan aja, udah kaya petir. Dia pikir dia siapa remehin gua!"

"Ayo, buruan minta maaf. Enggak baik bersikap kaya gitu, sikap kaya gitu enggak mencerminkan lelaki sejati."

Marko pelan-pelan berdiri dari lantai. Kemudian ia menggulurkan tangannya ke Irhas untuk meminta maaf.
Irhas enggan menerima maaf dari Marko, karena ia masih kesal dengan sikap Marko yang menurutnya membuat emosinya memuncak.

"Has, ayo maafin. Apa susahnya memaafkan? Tuhan aja pemaaf, masak kamu yang hambanya enggak mau memaaafkan sesama umatnya," ujar Kiko mencoba menenangkan emosi Irhas.

Akhirnya keduanya bersalaman dan saling memaafkan kesalahan mereka masing-masing. Kiko sangat senang melihat kedua temannya sudah tidak bertengkar lagi.

Waktu berjalan begitu cepat. Perkuliahan diakhiri, waktu itu menunjukkan pukul 17.00 WIB.

Selang beberapa menit Kiko melihat Pito sudah menunggunya. Kiko pun mempercepat langkahnya untuk sampai di depan kampus.

Pito sudah menunggu Kiko di depan kampus untuk mengajaknya ke hutan terlarang.

"Udah siap bro?" tanya Pito.

"Siap deh!" jawab Kiko.

Mereka berjalan menuju ke hutan terlarang itu. Tanpa terasa mereka sudah sampai di hutan larangan itu.
Saat hendak memasuki hutan tersebut, ada seorang bapak-bapak tua membawa kayu bakar memanggil Kiko dan Pito.

"Kalian mau kemana?" tanya Pak Tua itu.

Kiko dan Pito yang merasa terpanggil menoleh ke belakang dan menjawab pertanyaan dari orang itu.

"Kami mau masuk ke hutan larangan itu, Pak."

Pak tua itu memperingatkan keduanya untuk tidak memasuki hutan larangan itu. Pak tua itu mengatakan jika mereka masuk ke dalam ke hutan larangan itu, mereka akan mati.

"Ahh, udah lah, Pak. Itu cuma mitos, jaman sekarang masih aja mitos dipercaya," ujar Pito.

"Terserah kalian! saya sudah memperingatkan kalian," ucap Pak tua itu sambil pergi membawa kayu bakarnya.

Kiko cemas dengan perkataan Pak tua itu. Ia takut jika yang dilontarkan Pak tua itu benar adanya.

"To, mending kita enggak usah masuk hutan larangan ini deh."

"Ah lu, lu percaya sama kata Pak tua tadi? Dia itu cuma nakut-nakutin kita aja," ujar Pito.

Kenapa aku jadi ragu masuk ke hutan larangan ini. Aku harus bagaimana?




Misteri Hutan LaranganWhere stories live. Discover now