TLS-1

7.5K 616 22
                                    

"Aku ingin hidup bebas tanpa perlu merasa bosan dengan semua aturan serta rutinitas bagai tali mengikat ketat kehidupan manusia"

♠♠♠

“Hufft,”

Aku menghela napas sambil menatap secarik kertas di tanganku. Hatiku terasa sakit dan air mataku selalu jatuh bercucuran berapa kali pun aku melihatnya. Ingin rasanya aku menyobek kertas itu hingga berubah menjadi serpihan-serpihan kecil dan menganggapnya sebagai sebuah mimpi buruk. Namun hal itu tidak akan mengubah apapun.

Ini sudah menjadi takdirku, mau tidak mau aku harus menerimanya. Karena aku hanya manusia biasa, bukan Sang Pencipta. Lagipula, saat ini aku sedang sadar, belum tidur, jadi aku tidak bisa menganggapnya sebagai mimpi. Aku belum bisa tidur dengan mata terbuka, meski beberapa orang dapat melakukannya.

Aku menghela napas panjang sekali lagi lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Aku menyeka air mataku yang sudah terlanjur jatuh dan membasaki pipiku. Ada rasa sakit yang kemudian menjalar dan terasa sesak di dadaku. Bukan serangan jantung, hanya hidung terasa tersumbat hingga sedikit mengganggu proses pernapasan.

Jujur saja, aku belum memahami sepenuhnya, mengapa jika mata menangis, hidung selalu ingin mengeluarkan ingus dan kemudian tersumbat? Apa aku perlu melakukan penelitian untuk itu? Aku rasa tidak usah, googling adalah solusi untuk setiap pertanyaan. Walau kadang jawaban yang diberikan menyebalkan.

Misal, aku pernah bertanya, “Google, apa aku akan menikah?”. Si Google menjawab, “Jangan bermimpi menikah jika pacar saja tidak punya. Sadar dirilah kalau kamu jomblo”.

Oke, aku tidak langsung meledak mendengar jawaban itu. Hanya, membanting handphone hingga terpaksa beli yang baru. Walau untuk mendapatkan handphone baru harus merengek dulu sama Mama.

Jika kamu bertanya padaku, tentang apa yang sedang aku pikirkan meski kamu bukan facebook. Tenang, aku akan membaginya secara gratis. Saat ini aku sedang berada di antara hiruk-pikuk kehidupan, angin dan juga kebisingan yang menenangkan.

Aku tengah berbaring terlentang di atap sekolahku dengan mata yang masih setia menatap langit yang terlihat sama dan harapan yang masih sama. Jika membandingkan antara aku yang kecil dengan langit yang sangat besar, perbedaan kami terasa begitu menyesakkan. Perasaanku belum cukup kuat untuk membuatnya berharga dan layak diutarakan pada dirinya yang tidak bisa aku raih.

Dia, lelaki itu, seseorang yang aku cinta, sejak tiga tahun lalu, mirip dengan langit yang saat ini sedang aku pandang. Keduanya sama-sama terlihat jauh dan mustahil untuk aku raih. Mustahil bukan karena kedudukannya yang tinggi atau alasan klasik lainnya, melainkan karena satu alasan yang enggan aku akui : Time.

Angin sepoi-sepoi berhembus pelan, memberikan kesegaran samar dari nuansa dingin yang dibawanya ke kulitku. Hal itu membuatku menyunggingkan sebuah senyuman saat melihat sekawanan burung terbang bebas di atas sana.

Bagaimana hidup menjadi burung-burung yang bebas itu? Aku ingin hidup bebas tanpa perlu merasa bosan dengan semua aturan serta rutinitas yang bagai tali mengikat ketat kehidupan manusia. Aku sungguh merasa lelah tapi dilarang untuk menyerah.

Pemikiran itulah yang selalu hadir di pikiranku selama kurang lebih setahun belakangan ini. Sejujurnya, aku sudah merasa bosan setengah mati dengan jalan hidup yang aku pilih ini. Terlalu ada banyak aturan, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Kebebasanku seakan dirampas untuk bisa terus hidup tanpa bisa menikmati bagaimana rasanya hidup itu sendiri.

Bagiku, dunia hanyalah nama lain dari berputus asa. Walau aku tidak boleh begitu karena bagaimanapun, kenyataannya aku memang adalah pengemis kehidupan.

THE LAST SCENE | TERBIT |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang