TLS-2

6.1K 592 28
                                    

"Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Karenanya aku tidak akan pernah berhenti mencoba."

♠♠♠

Entah sudah keberapa kali aku melihat ibuku menangis. Rasanya terus mengatakan kepadanya bahwa aku baik-baik saja tidak akan membuatnya merasa lega. Ibu terlalu menyayangiku, aku tahu betul itu. Hanya saja ditangisi untuk sesuatu yang bahkan belum terjadi sungguh menyakitiku.

Aku tidak ingin menjadi lemah, terlebih setelah memutuskan sesuatu yang besar kemarin. Aku tidak akan pernah menyerah dan seharusnya ibu menyemangatiku bukan membuatku semakin merasa kecil dan meratapi nasib yang memang sudah diatur Tuhan seperti ini.

“Ayolah, Bu! Dhea ingin sekolah,” rengekku pada Ibu saat ibu lagi-lagi enggan mengantarku ke sekolah.

Ibu hanya diam saja dengan air mata yang masih berjatuhan. Mata tuanya yang keriput terlihat sembab, aku tidak suka itu. Aku merasa sangat sehat sekarang, bahkan sangat bersemangat untuk menyambut hari ini.

“Tidak bisakah Dhea hanya diam di sini?” Ibu kembali memohon.

Aku menggelengkan kepalaku cepat.

“Tidak mau, Bu! Ibu sudah berjanji bukan bahwa Dhea boleh melakukan apapun yang Dhea inginkan?” kataku menanyakan kembali janji ibu padaku yang ibu ucapkan seminggu yang lalu.

Ibu hanya diam, sepertinya mulai menyesali apa yang sudah dikatakannya waktu itu. Aku tidak pernah berniat membuat ibu terluka atau bersedih hati. Namun hanya dengan cara ini, Ibu tidak akan menghalangiku lagi untuk pergi.

“Tapi, Dhea, bagaimana jika-.”

“Bu.”

Aku memotong cepat ucapan Ibu sebelum beliau benar-benar menghancurkan semangatku.

“Hanya seminggu, Bu! Setelah itu Dhea tidak akan pernah ke sekolah lagi. Tidak bisakah Ibu mengijinkan Dhea untuk ke tempat yang mungkin tidak akan bisa Dhea kunjungi lagi?” pintaku penuh harap, aku tatap lekat mata ibu.

“Dhea mohon,” iba-ku dengan sangat.

Ibu menghela napas panjang. Tidak ada jawaban yang pasti, hanya memberikan belaian lembut yang dilakukan ibu setelahnya. Namun aku yakin, jika sudah begini artinya ibu akan mengijinkan aku pergi.

Yes, dengan begini aku bisa menemui Fahri dan melakukan rencana yang sudah aku rencanakan semalaman. Aku harus bisa menjadikannya pacarku.

Ibu menghentikan mobilnya di depan sekolah lalu menatapku yang sudah siap untuk turun. Aku tersenyum ke arah ibu lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan aku itu dengan penuh kasih sayang.

“Dhea akan baik-baik saja, Bu,"

Aku mencoba meyakinkan ibu sekali lagi walau kurasa itu tidak berdampak banyak untuk ibu.

“Jika terjadi sesuatu, segera hubungi Ibu. Ibu pasti akan segera datang dan menjemputmu, mengerti?” pesan ibu.

Aku hanya mengangguk sebagai tanda mengerti. Entah sudah berapa kali ibu mengatakan pesan yang sama sehingga aku bahkan sudah bisa menghafalnya di luar kepala. Jika boleh sedikit menyombongkan diri, aku sudah hafal nomer ponsel ibuku atau bahkan bisa mengucapkannya sambil berlari atau push up. Walau sebenarnya terlarang bagiku untuk melakukan semua itu lagi sejak hari itu.

Aku melambaikan tangan pada ibuku yang sudah melajukan mobilnya meninggalkan sekolahku. Di hari yang baru ini, aku harus fokus pada apa yang menjadi tujuanku. Menjadikan Fahri pacarku dan mengubahnya menjadi cowok pemberani adalah misiku saat ini.

THE LAST SCENE | TERBIT |Where stories live. Discover now