TLS-4

5.3K 578 10
                                    

"Bertahanlah dalam kesakitan, karena nanti kesakitan itu akan berubah menjadi kebahagian yang sejati,"

♠♠♠

Malam yang begitu indah, aku tatap bintang-bintang dari jendela kamarku. Rasanya, memandang bintang yang sebenarnya besar tetapi tampak kecil itu membuatku menyadari bahwa nikmat Tuhan begitu besar jika dibandingkan dengan masalahku saat ini. Dari sejak aku masih berada di dalam kandungan hingga sebesar ini, jika dihitung sudah tujuh belas tahun aku hidup. Selama itu pula, aku bahkan tidak pernah bersyukur setiap kali aku bangun dari tidur dan menemukan diriku masih bernapas.

Ternyata kesadaran saat sesuatu yang dianggap biasa memudar dan nyaris hilang benar adanya. Manusia jarang bersyukur sebelum nikmat itu dicabut. Aku sudah hidup selama 17 tahun dan aku masih mengemis untuk bisa hidup, 1000 tahun lagi.

Ah, betapa tidak tahu dirinya aku ini.

Aku menoleh ke samping dan melihat ibu yang sedang tertidur pulas di sofa. Rasanya, tidak tega melihat wanita yang telah menghabiskan banyak waktu, tenaga dan hartanya untukku itu tertidur dengan pose seperti itu. Jika boleh berharap, aku ingin ibu juga tidur di kasur dengan bantal empuk dan selimut yang hangat. Sayangnya, hanya ibu satu-satunya anggota keluargaku yang tersisa. Demikian pula bagi ibu, hanya aku satu-satunya keluarga baginya.

Karenanya, meninggalkan ibu sendirian membuatku sedikit cemas. Tapi inilah kehidupan, manusia terlahir sendiri dan akan mati sendirian pula. Aku tidak bisa menuntut lebih setelah hidup terlalu lama di dunia ini walau jika boleh menjadi egois. Aku ingin meminta sedikit saja waktu tambahan.

Drtt.. drtt...

Sebuah pesan singkat singgah di ponselku. Sudah lama tidak ada yang mengirimiku pesan, tentu saja operator adalah pengecualian. Jadi, tidak heran jika aku cukup terkejut sekaligus senang saat ada pesan yang datang. Aku hanya berharap itu bukan pesan salah alamat, soalnya aku belum jadi titisan Ayu Ting-Ting.

Ajeng Classmate
Dhea, bagaimana kabarmu?

Aku tersenyum tipis saat tahu bahwa pengirim pesan itu adalah, Ajeng. Ajeng adalah teman sekelas sekaligus tetanggaku. Kami cukup dekat walau di sekolah jarang berkomunikasi.

Ajeng memiliki geng sendiri, rasanya terlalu egois jika memaksanya untuk selalu denganku yang jarang masuk sekolah ini. Walau begitu, hal yang paling kusuka dari Ajeng adalah bisa menjaga rahasia. Sejak dulu, dia tidak pernah memberitahu orang lain tentang kondisiku dan aku sudah cukup bersyukur dengan hal itu.

Aku mengetikkan balasan dan kami mulai mengobrol dengan saling mengirimi pesan. Berkomunikasi dengan Ajeng mengusir sedikit rasa bosanku. Bersamanya, akan terasa menyenangkan walau saat bertemu kami jarang sekali melakukan kontak mata. Kami ini berteman, terlepas bagaimana kami di mata orang lain. Aku tidak peduli bagaimana Ajeng di belakang, bagaimana ia bersikap, bertutur kata, atau bagaimana ia menanggapi aku di luar pengetahuanku. Hal terpenting bagiku, bagaimana Ajeng saat bersamaku. Terlepas dari itu, itu bukan urusanku.

“Belum tidur, Dhea?”

Pertanyaan itu membuatku mendongakkan kepalaku yang sejak tadi terfokus pada layar ponsel. Aku memberikan senyuman untuk menyambut ibu yang terbangun dari tidurnya. Wanita paruh baya itu bangikit dari sofa lalu menghampiriku. Ibu duduk di kursi di dekat ranjangku lalu mengusap lembut kepalaku.

“Sudah malam,” katanya.

“Tidak baik begadang, kamu perlu istirahat,” nasehatnya.

Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Aku ketikkan pesan pada Ajeng yang mengatakan padanya bahwa aku harus beristirahat. Setelah menerima balasan dari Ajeng, aku berikan ponselku pada ibu.

THE LAST SCENE | TERBIT |Where stories live. Discover now