TLS-5

5.7K 612 13
                                    

"Cinta mungkin nggak akan sepenuhnya menyembuhkan luka. Namun dengannya, luka dan sakit bisa dibagi hingga terasa nggak terlalu menyakitkan,"

♠♠♠

Aku menghentak-hentakkan pelan kakiku ke lantai dengan mata yang terus menatap jam dinding yang berada di depanku. Aku sudah tidak sabar menunggu waktu pulang sekolah agar bisa segera bisa berkencan dengan Fahri. Aku ingin segera pergi kencan bersamanya, menghabiskan waktu seharian dengannya dan membuatnya bahagia.

Aku ingin Fahri tahu bahwa di dunia ini, bahkan meski semua orang membencinya, aku akan menjadi satu-satunya orang yang akan selalu mencintainya selamanya.

“Hei, Dhea ” panggil Fahri pelan.

“Ya?” sahutku cepat.

“Berhenti menggerak-gerakkan kakimu, mejanya bergetar nih,” tegur Fahri.

Aku hanya tersenyum lebar.

“Maaf, aku hanya merasa nggak sabar untuk segera berkencan denganmu,” jelasku.

“Iya, tapi jangan begini. Kamu benar-benar nggak bisa menyimpan rahasia ya? Bagaimana kalau sikapmu membuat semua teman curiga dan menyadari bahwa kita pacaran? Apa kamu sengaja melakukannya agar aku nggak bisa putus darinya?” sindirnya.

Aku hanya menggelengkan kepala semabri memberikannya senyuman sebagai jawaban.

Menyimpan rahasia? Mungkin aku ahlinya, Fahri.

“Aku omeli malah senyum, kamu sesenang itu?” gerutu Fahri.

Aku mengangguk cepat. Sedangkan Fahri menghela napas panjang.

“Baiklah, tapi berhenti menggerakkan kakimu, oke?”

“Oke,” sahutku.

“Jadi, sudah kamu pikirkan kita akan pergi kemana nanti?” tanyanya.

Aku mengangguk dengan penuh semangat.

“Sudah,” jawabku cepat.

“Kemana?” tanya Fahri.

“Aku ingin ke-,”

Ting... ting... ting...

Bel pulang sekolah berdering dengan nyaring. Aku melihat Fahri dengan mata yang berbinar-binar. Cowok berkacamata itu pun mau tidak mau memberikan reaksi. Ia hanya menggaruk-garuk kepalanya sembari menggeleng-geleng kepalanya pelan.

“Kamu ini! Jangan terlalu senang begitu, dong! Nanti semuanya tahu kalau kita pacaran,” tegurnya lagi.

Aku hanya senyum-senyum mendengar ocehannya.

“Kamu dengar nggak?” Fahri mulai kesal.

“Nggaaak,” jawabku sengaja menggodanya.

“Aih!” Fahri berdecak pelan.
Aku cekikikan melihatnya beraksi begitu. Lucu.

“Kita hanya pacaran untuk hari ini lho. Bisa gawat kalau sampai ada yang tahu!” omelnya lagi. “Kamu kan yang bilang kalau kita ini-,”

“Iya, aku tahu. Nggak akan ada yang tahu. Janji!” ujarku meyakinkan Fahri, sengaja aku potong ucapannya agar tidak merusak moodku yang sudah sangat baik ini.

Fahri menatapku dengan mengangkat sebelah alisnya.

“Kamu yakin tentang ini?” tanyanya sekali lagi.

“Tentang apa?” jawabku balik nanya.

“Kalau kita hanya pacaran hari ini.”

Fahri menatapku serius, sepertinya dia masih merasa tidak nyaman dengan perjanjian kami.

THE LAST SCENE | TERBIT |Where stories live. Discover now