TLS-3

5.6K 604 14
                                    

"Oh God, if I could have just one wish, let me tell him how much I love him."

♠♠♠

Saat aku terbangun, aku sudah kembali ke tempat dimana seharusnya aku berada. Sepertinya pihak UKS (Unit kesehatan Sekolah ) menelpon ibuku. Untungnya persoalan aku sakit, bahkan pingsan ini tidak sampai menyebar ke siswa lain. Bisa gawat kalau Fahri tahu, dia pasti tidak akan mau jadi pacarku. Jika sudah begitu, aku akan gagal menjalankan misiku untuk sedikit mengubahnya menjadi cowok yang pemberani. Aku tidak mau dia sekadar menjalani hidup, tetapi juga menikmatinya.

Kriet.

Pintu kamarku terbuka, ibuku masuk dengan wajah yang terlihat letih dan suram. Ibu pasti marah dan juga khawatir dengan kondisiku. Tapi, mau dilarang bagaimanapun, aku tidak bisa menyerah. Aku sudah memutuskan dan rasanya pengecut sekali jika aku harus melarikan diri atau menarik kata-kataku sendiri. Aku benci menjadi pecundang apapun alasannya, apalagi menjadi pecundang kehidupan. Aku tidak sudi. Sebutan sebagai pengemis kehidupan sudah cukup banyak untukku, aku tidak mau menambah julukan lagi.

“Sudah baikan, Dhe?” tanya Ibu setelah duduk di kursi di dekat kasurku.

Aku mengangguk pelan.

“Sudah ibu katakan bukan kalau seharusnya Dhea diam saja di sini?” omel Ibu.

Aku hanya tersenyum tipis.

“Ibu sangat khawatir, Dhea!” Ibu menaikkan nada suaranya, memberikan sebuah penekanan di setiap pengucapan seolah ingin aku mengalah dan berhenti melawan ibu.

“Bu,” panggilku, aku tatap lekat wajah ibu.

Ibu menghela napas, menurunkan tubuhnya dan menyandarkannya ke sandaran kursi.

“Kamu pasti tidak akan mendengarkan ibumu ini lagi bukan?” sindir ibu, seolah paham apa yang akan aku katakan.

Aku hanya mampu memberikan senyuman manis.

“Kalau kakimu kembali mati rasa bagaimana?” tanya Ibu.

“Akan aku telpon ibu atau jika aku tidak mampu, pihak UKS yang akan melakukannya seperti hari ini. Bukankah ibu sudah menjelaskan situasiku pada mereka?” jawabku dengan cerdik.

Aku berhasil membalikkan pedang yang awalnya akan ibu gunakan untuk menyerangku menjadi senjataku. Ibu memegang bagian belakang kepalanya, jika sudah begitu ibu pasti sudah tidak bisa membalas argumenku. Aku pasti boleh bersekolah lagi besok.

Ah, senangnya. Aku bisa kembali bertemu Fahri.

“Jangan senang begitu, belum tentu ibu izinkan,” ujar Ibu membuat senyum terkembangku mendadak layu.

“Yah, jangan begitu, Bu,” rajukku.

“Dhea, ingin tetap ke sekolah, Bu!” rengekku.

“Tapi, Dhea keadaanmu tidak mendukung. Ibu sangat khawatir setiap kali kamu tidak di sini, Ibu-,”

“Semua orang akan mati, Bu!” potongku membuat Ibu melebarkan pupil matanya, shock berat.

Aku memandang wajah ibu dengan ekspresi yang pasti akan sangat menyakitkan. Ibu sudah tahu bahwa aku tidak akan bisa bertahan, tetapi jauh lebih menyakitkan jika aku sendiri yang mengingatkan perihal itu padanya. Bagaimanapun kenyataan tidak akan pernah seindah dunia mimpi. Mungkin karena itu, bagiku, mimpi hanyalah cara lain untuk melarikan diri dari kejamnya dunia ini.

“Jangan berkata begitu, Dhea. Masih ada peluang dan.”

“Karenanya, Bu. jangan perlakukan Dhea seperti ini. Jangan memperlakukan Dhea seolah-olah tidak ada lagi peluang bagi Dhea, Bu!” iba-ku.

THE LAST SCENE | TERBIT |Where stories live. Discover now