1

2.3K 212 14
                                    

"Siapa kau?" Bentak seorang namja tampan yang memandang sinis seorang namja mungil telah berani mencoba membuka pintu rumahnya, namja mungil itu tersentak menoleh ragu-ragu pada namja yang telah membentaknya.

"Ughhh, apa kau teman Jimin-hyung?" Tanyanya heran, di tangan kiri tergengam sebuah kunci rumah. Yang ternyata tidak berfungsi sama sekali. Ada binar kecemasan, saat mata mereka saling bersiroboh.Dengan cepat ia memutuskan kontak mata itu,  karena takut terintidimidasi.

"Jimin-hyung?" Ulangnya heran, pikirannya mengingat pemilik nama yang diucapkan oleh namja asing itu, lalu amarah kembali menguar. Kali ini berkali lipat dari semula. "Kau saudara si brengsek itu?" Bentaknya kesal. Namja munggil itu berjengit, mundur hingga tubuhnya terbentur pintu pagar. Takut, ia sangat takut dengan pria asing yang terlihat marah saat ia menyebut nama kakak tirinya. Tubuhnya bergetar, trauma dulu ketika ia di siksa oleh ayah kandung kembali terulang. Ia beringsut memeluk diri sendiri.

"Ja—jangan... Aaa ... ppaa." Pintanya memelas, sebuah tepukan hangat menyentuh bahunya, memaksa untuk menghadap ke arah namja tampan yang telah membentaknya. Matanya telah berair, ketakutan. Bahkan terdengar isak tangis.

"Ck," decak namja tampan itu kesal, dia tak akan tertipu dengan akting namja mungil itu. Pasti itu adalah rencana dari kakak si namja, untuk mengambil simpatinya. Dan ia tidak akan terpedaya. "Hentikan sandiwaramu, bodoh. Kau menjijikan! Pergi dari rumahku." Usirnya kasar, menyeret namja mungil itu menjauhi pintu pagar rumah. Dengan cepat ia menekan password dan menutup pintu pagar. Membiarkan namja mungil itu terduduk lemas di tanah. Lemas karena ketakutan dan tak tahu harus ke mana lagi.

Ia bukan orang kaya, ponselpun tak punya. Bertekad mengadu nasib ke kota, ia berharap sang kakak tiri bisa menampungnya dan membantu mencari tempat kuliah murah, serta tempat kerja. Lagi pula tak mungkin ia kembali ke desa saat semua uang tabungannya habis tak bersisa, "Ughh... Hyung, kau di mana?" Lirihnya pelan, ia duduk bersandar di pintu pagar, memeluk erat tas ransel yang  dibenamkannya di antara kedua lututnya. Menjadikan sandaran kepala.

Matahari telah berganti dengan rembulan, beberapa mobil melewatinya tanpa peduli dengan kondisi namja mungil itu, kelaparan, kedinginan. Tak ada yang mau berhenti sekedar menyapa atau apalah. Namja tampan itu juga masih betah berada di dalam rumah, menjalankan aktifitas seperti biasa. "Ck, sialan! Park Jimin brengsek! Sekarang apalagi ulahnya?" Omelnya saat melihat ke layar monitor cctv, namja mungil itu tak menghubungi siapapun. Bahkan tak bergerak seinchipun, duduk bersandar seperti gelandangan sambil menangis. "Kalau dia mati, bisa gawat aku." Keluhnya lagi, langsung menyambar gelas kopi dan menegaknya hingga tandas.

Namja mungil itu berusaha memeluk dirinya semakin erat, hawa dingin menusuk kulit. Isak tangis yang entah keberapa kali terdengar miris. Pintu pagar terbuka tiba-tiba hingga membuat tubuhnya oleng ke belakang. Sepasang kelereng hitam legam menatapnya dingin, dengan cepat ia berusaha bangun dan mundur, takut-takut kalau namja tampan itu kembali memarahinya. "Masuk!" Perintah sang pemilik rumah memintanya masuk, ia berjengit. Ragu untuk masuk, kalau dia di siksa seperti dulu bagaimana? Melihat namja bertubuh mungil itu masih terpaku menatap rumahnya, ia kembali berdecak kesal. "Masuk! Atau kau angkat kaki dari sini. Jangan tidur di depan halaman rumah orang! Kalau kau mati, aku yang repot. Dasar keluarga Park sialan!" Makinya kasar, namja mungil itu mendelik, ketakutannya entah hilang kemana, saat nama keluarganya di hina dia merasa geram pada namja tampan itu. Dengan kasar ia menginjak kaki namja pemilik rumah yang hanya memakai sandal rumahan. Lalu melenggang masuk ke dalam rumah, menunggu di depan pintu utama.

Namja tampan itu, mengerang kesakitan. Ia tak menyangka adik Park Jimin yang brengsek itu meski bertubuh mungil injakan kakinya seperti kaki gajah. Ia bahkan sampai meloncat-loncat karena rasa sakit. Dengan amarah di atas ubun-ubun ia membanting pintu pagar hingga berdentum nyaring.

Dua orang namja, berbeda fisik saling beradu deathglare. Mereka duduk berhadapan yang hanya dipisahkan oleh meja kaca berbentuk oval. "Di mana, Park Jimin?" Tanya namja pemilik rumah, ia bersedekap, mengamati namja mungil yang tak diketahui namanya itu.

"Tae, tidak tahu." Namja itu menjawab pelan, ia masih memeluk tas ranselnya. Gelengan lemahpun di tambah bila ia benar-benar tak tahu keberadaan kakak tirinya.

Namja tampan itu memijat pelipisnya, yang berkedut sakit. Pusing karena masalah yang menghampirinya. Keduanya terdiam, ia masih memikirkan cara untuk mencari keberadaan Park Jimin, yang telah berani menipunya. Belum lagi keberadaan namja mungil bernama Tae entah apalah, membuatnya kesal. Seumur hidup baru kali ini ia berurusan dengan orang yang bisa memancing emosinya. "Siapa namamu?" Tanyanya pelan, meski begitu masih ada nada ketus terselip.

"Kim-Park Taehyung, salam kenal." Jawabnya pelan, dengan gestur menunduk dan senyum tulus. Alis namja itu berkerut, kenapa namja dihadapannya itu memiliki dua marga?

"Kenapa margamu ada dua?" Bertanya heran, matanya masih mengawasi Taehyung. Ia bisa melihat namja itu memilin tali tasnya dengan gugup, tak langsung menjawab pertanyaannya.

"A—aku, hmmm ... akuuu ... sau—saudara tiri Jimin-hyung."lirihnya pelan, mendesah pelan ternyata mereka saudara tiri. Pantas saja tadi Taehyung bersikap biasa saja, ternyata ia tak tahu apa yang terjadi di antara dirinya dan Jimin. Seringai licik terlihat, jika Jimin tak bisa ditemukan, tak apa kan ia menyandera adik tirinya. Kalau tidak berguna, bisa ia jual ke pasar gelap. Tubuh Taehyung itu mungil mirip seorang yeoja, dan juga kulit kecoklatan yang eksotis. Di luar sana pasti banyak gay yang mau membelinya.

"Baiklah, kau boleh tinggal di sini. Tapi dengan beberapa syarat." Ia berjalan menuju ke arah dapur yang bisa di lihat dari ruang tamu, membuka pintu kulkas mengambil dua kaleng bir. Ia kembali duduk di sofa dan meletakan sekaleng bir untuk Taehyung di meja, lalu membuka penutup bir dari kaleng lain untuk di minum.

"Hmmm, maaf Hyung. Tae tidak bisa minum bir atau yang mengandung akohol." Tolak Taehyung pelan, tak berani menatap pemilik rumah. Kekehan mengejek terdengar, membuat alisnya berkerut. Kenapa namja tampan itu tertawa? Tadi dia marah-marah dan bersikap dingin.

"Baiklah, sekarang aku akan membuat peraturan sebagai syarat untukmu." Jawabnya, lalu menandaskan sisa bir dalam sekali tegak. Ia pergi meninggalkan Taehyung yang masih duduk, tak tahu berbuat apa-apa. Selang berapa menit namja itu datang membawa selembar kertas kosong dan pena. "Syarat pertama: kau harus membersihkan rumah, mulai dari memasak, menyapu dan mengepel. Tidak boleh ada debu yang tetinggal. Kedua: tak boleh ada siapapun yang tahu kau tinggal denganku. Ketiga: kalau diluar sana bersikap seolah kita tak saling kenal. Keempat: kalau kau pergi harus mendapat izin dariku. Kau mengerti?" Ia menyerahkan kertas yang telah tertulis peraturan yang ia buat. Alis Taehyung semakin mengerut, kenapa kesannya ia menjadi babu?

"Hyung, kenapa semua pekerjaan rumah aku yang kerjakan? Kalau aku kerja dan kuliah bagaimana?" Protesnya pelan, kurang setuju dengan syarat dari pemilik rumah.

"Kau tidak mau?" Senyum culas terlihat, "silahkan angkat kaki dari sini. Aku yakin kau tak punya kenalan selain Jimin-hyungmu itu. Dan, asal kau tahu saja, si brengsek itu punya banyak hutang padaku. Jadi," ada jeda, ia sengaja ingin melihat reaksi Taehyung yang pucat pasih, saat mendengar perkataannya. "Sampai aku menemukan Park Jimin, jadilah anak baik!" Pintanya dengan senyum iblis.

Taehyung, mengangguk takut. Salah! Ia telah salah menganggap bila namja tampan itu teman kakak tirinya. 'Ummaaa... tolong, Tae-tae.' Rapalnya dalam hati.

.
.
.
.
.

Bersambung~~~~

Semoga kalian suka sama ceritanya.

Indonesia

22/9/2017

CRAZY LOVEWhere stories live. Discover now