Dua Puluh lima

3K 190 3
                                    

"Jawab Pak, apa anda yang membuat ibuku seperti itu? Kenapa pak? Apa salah ibu saya?"

Pak Leo bingung dan kaget. Sejak kapan anak gadisnya berada disitu? Apa dia sudang mendengarkan semua pembicaraannya?

Pria itu dengan ragu berjalan ke arah Berlian. Tangannya berusaha menggapai gadis yang sedang emosi itu.

"Jangan mendekat. Aku tak ingin berdekatan dengan anda."

"Jangan seperti ini nak. Cepat kemari duduk disini ,disitu bahaya banyak pecahan guci."

"Anda lah yang lebih berbahaya. Cepat jawab kenapa anda membuat ibu saya idiot seperti itu."

Idiot? Apa maksud anaknya ini? Kenapa dia berfikiran sekonyol itu. Wanita yang di cintainya itu wanita yang normal hanya saja..

"Beliau tak idiot Berlian." jelas Alva sambil memijat keningnya.

"Lalu kenapa? Bagaimana dia jadi seperti itu? Apa kalian membentur-benturkan kepalanya hingga syarafnya putus. Ah kalian sungguh kejam sekali."

"Berlian, imajinasimu itu terlalu liar. Bukan seperti itu. Kamu duduk dulu ya , kita bicarakan ini semua dengan tenang."

Gadis itu berfikir sejenak, dia menarik nafasnya dan mengeluarkannya dengan perlahan. Kalau dia tak tenang pasti mereka tak akan memberikan jawaban yang dia minta.

Dia pun memutuskan untuk menuruti saja permintaan Alva,  sebelum duduk dia mengambil beberapa pecahan guci yang berukuran sedang. Setidaknya dia harus berjaga-jaga seperti biasanya dia lakukan. Dia tak tahu , sedang berurusan dengan siapa sekarang.

"Untuk apa itu nak?" tanya Pak Leo bingung.

"Oh ini?" ucap gadis itu sambil mengangkat pecahan guci tersebut."Untuk menancapkan ke perut kalian kalau kalian macam-macam. Dan satu lagi, jangan panggil saya nak terus. Saya bukan anak anda!"

Mendengar itu rasanya hati Pak Leo perih seperti tertusuk pisau yang sangat tajam. Rasa yang teramat sakit , hingga rasanya jantungnya berhenti memompa dan tak ada oksigen lagi yang masuk kedalam paru-parunya. Sesak. kalimat itu sangat menyakitkan untuk didengar seorang yang telah merindukan anaknya bertahun-tahun.

"Ian, aku tahu kamu sekarang sedang marah dan emosi. Tapi bisakah kau jaga perasaan papa kita?" Alva menatap Berlian dengan wajah memohonnya.

"Ck... Papa? Dalam kamus hidup gue. Gak ada yang namanya papa. Ibu nyiptaiin gue dari tanah liat. Bukan dari sperma orang tak punya otak dan perasaan."

"BERLIAN CUKUP!" bentak Olden yang ternyata dari tadi berada di dekat ruangan itu. Ucapan gadis ini sungguh tidak sopan.

"Kenapa? Memang kenyataan kan. Sudah lah jangan bertele-tele lagi. Cepat beri tahu aku, kenapa anda tega merusak hidup ibu saya!"

"Kalau papa gak bisa kasih tahu biar Olden aja yang cerita. Aku gak terima papa di kurang ajarin sama cewek gak tau sopan santun kayak dia." Olden semakin emosi. Siapa sih yang terima kalau orang tuanya di hina seperti itu. Apalagi oleh saudaranya sendiri. Anak dari orang yang selama ini membesarkannya dengan penuh cinta.

"Gue gak punya sopan santun? Haha memang. Kalian baru tahu? Maaf ya aku tumbuh dan besar dilingkungan yang keras bersama seorang ibu yang gak bisa di ajak komukasi dan gak ada yang perna ngajarin sopan santun seperti yang kalian dapatkan!"

"Kau...." Olden menunjuk Berlian dengan jari telunjuknya.

"Apa?"

"Sudah cukup." Pak Leo tak ingin keluarganya bertengkar seperti ini. Ini sungguh awal yang tak baik untuk memulai hidup baru yang dia idam-idamkan dari dulu.

My Idiot MomWhere stories live. Discover now