Patahan Bonus

52.8K 5.2K 685
                                    

Aya membuka pintu kursi penumpang dan langsung melapor pada Gio yang memberinya senyuman, "Tadi anak kamu bikin ulah."

Senyum Gio berubah jadi ringisan, "Anakku yang mana?"

"Yang rambutnya kusut," Sahut Aya sambil mengenakan sabuk pengaman.

"Rambut anakku kusut semua."

Aya menepuk keningnya karena tersadar akan kebenaran kalimat Gio, "Maksudku, yang paling kecil."

Ekspresi Gio tidak berubah jadi heran, seakan laporan tentang kenakalan si kecil telah menjadi makanan sehari-hari baginya. Sebaliknya pria itu bertanya dengan nada pasrah, "Kali ini ulah apa lagi?"

"Mengotori hampir seluruh dapur dengan tepung."

"Oh, no!" Gio langsung mendesah, "Kenapa Lily terobsesi sekali dengan dapur kamu? Padahal aku membelikannya satu set perlengkapan dapur mainan impian semua anak perempuan."

"Jangan mengomel dulu, karena masalahnya belum selesai sampai di sana," Aya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan dramatis, "Karena kali ini dia benar-benar keterlaluan, aku menegurnya."

"And then?"

"She said, I'm towlly Mama."

Gio memiringkan kepala dengan ekspresi bangga, "Setidaknya Lily menyadari kesalahannya dan berbesar hati untuk meminta maaf."

"Lily minta maaf hanya untuk terbebas dari masalah, tanpa benar-benar menyesali perbuatannya. Karena waktu ku tanyakan, kenapa dia meminta maaf, kamu tahu apa jawabnya?"

"Apa?" Tanya Gio penuh antisipasi.

"Towlly because of nothing," Aya menirukan ucapan anaknya lengkap dengan ekspresi polos tak berdosa.

Gio menjilat bibir demi menahan ledakan tawa yang sudah berada di ujung lidahnya. Pria itu berusaha keras untuk tetap terdengar tegas ketika berkata, "Nanti malam ku nasehati."

"Kamu harus benar-benar tegas pada Lily," Ucap Aya dengan ekspresi kesal, "Jangan sampai dia tumbuh jadi anak yang nakal."

                Gio mengangguk-angguk saja untuk menyenangkan hati Aya yang terlihat sangat kesal pada anaknya. Mana mungkin Gio sampai hati menghukum si bocah kecil berambut kusut yang pintar mengambil hati orang-orang dewasa di sekitarnya itu. Satu-satunya orang yang tega menjatuhkan hukuman kepada bocah itu hanya Aya seorang, dan harus dilakukan tanpa sepengetahuan Nesya, karena gadis berhati lembut itu pernah menangis sampai terisak-isak karena melihat Aya menyentil telinga adiknya. Kejadian itu membuat Aya bersumpah kalau Gio memiliki anak-anak aneh, dan Gio yang tak bisa membela diri maupun putri-putrinya, terpaksa harus setuju pada pendapat itu, kalau tak ingin membuat Aya mengamuk kepadanya.

                Sesampainya di taman bacaan tempat Lily mengikuti kelas mendongeng tiap akhir pekan, Gio dan Aya disuguhi ekspresi yang tak sedap untuk dipandang. Bibir Lily mengerucut maju, sedangkan alisnya merah, dan Aya langsung tahu kalau anak itu sedang menahan kesal. Dugaannya terbukti karena anak itu langsung mengulurkan lengan gendutnya untuk mengadu, "Mama, tapi aja gelang Lily hilang."

"Hilang?" Tanya Aya sambil meraih lengan anak itu, "Ini ada kok."

"Yang bilu?"

"Oh iya, gelangnya cuma tiga. Yang biru ke mana?"

Lily merogoh saku roknya untuk mengeluarkan patahan gelang sambil berkata, "Ini."

"Ini namanya rusak Nak, bukan hilang," Ucap Aya yang harus menahan diri untuk tidak mengomel.

"Kok bisa patah?" Gio yang entah sejak kapan sudah ikut berjongkok di samping Aya, bertanya pada Lily yang masih saja cemberut.

"Tapi aja Elang nakal," Tuduh anak itu sambil menyebutkan nama salah satu temannya, "Dia aja talik-talik lambut Lily. Lily pukul!"

Patah #2 - Slow UpdateWhere stories live. Discover now