9. Permintaan Elise

1.3K 106 4
                                    

Pada awalnya, aku pikir horror itu hanya segala hal yang berhubungan dengan hantu dan sejenisnya. Tapi, setelah aku masuk ke dalam masa lalu Elise -atau mungkin hanya diperlihatkan? Entahlah-, aku jadi mengerti bahwa horror adalah sesuatu yang menimbulkan rasa takut atau ngeri pada diri kita. Jadi tidak selalu hantu, tergantung pada ketakutan diri kita masing-masing. Bagiku, masa lalu Elise lebih horror daripada wujudnya yang sekarang sering menggangguku. Merasakan sakit yang sama saat Elise meregang nyawa membuatku tidak bisa makan berhari-hari.

Hari ini aku sendirian lagi di rumah. Seperti biasa, Mama dan Papa akan kembali jika hari sudah gelap. Niko berkeras ingin menemaniku, tapi aku menolak. Aku ingin bertemu Elise.

Sore itu, langit mendung dan hujan mulai turun rintik-rintik. Tapi Elise tak juga muncul. Barulah ketika aku terbangun dari tidur pada dini hari, sekitar pukul 2, aku mendengar suara perempuan menangis.

Aku buru-buru mengenakan jaket, dan menuruni tangga dengan tergesa. Tak peduli pada derit kayu yang memekakkan telinga. Kupikir dia ada di kursi piano. Ternyata kosong. Dia tak ada di sana.

Iseng, aku melihat ke halaman belakang. Rupanya dia ada disana. Duduk di kursi kayu yang sudah hancur. Aku menarik napas panjang dan mulai berjalan menghampirinya. Suara gagak hitam menemani langkah kakiku.

"Mmm.. kamu kenapa?" aku memberanikan diri bertanya. Elise mendongak menatapku. Tapi wajahnya terlihat lain.

Dia sangat cantik. Matanya bulat, walaupun tatapannya kosong. Wajahnya pucat, tapi utuh. Tanpa sadar, aku mundur beberapa langkah.

"Ini adalah, malam kematianku. 16 tahun yang lalu aku mati disini." katanya sambil terus menangis.

"Kalau begitu, ini sudah sangat lama. Kembalilah ke alammu. Tempatmu yang seharusnya." aku tidak tahu kalau perkataanku akan membuatnya tersinggung. Ia melotot marah.

"Aku tidak bisa, sebelum Robert sialan itu mati!"

Aku terbelalak. "Kalau begitu, bunuh saja." saranku, refleks.

"Aku tidak bisa mendekatinya. Entah kenapa.." balas Elise sedih. "Aku ingin dia mati! Kalau bisa, aku ingin dia mati sepertiku!"

"Kenapa?"

"Tentu saja agar aku puas! Kau pikir menyenangkan, melihat dirimu sendiri tergantung di pohon beringin, dan baru ditemukan 4 hari kemudian setelah pipi kananku habis dimakan gagak?"

Aku menelan ludah. Membayangkan apa yang dikatakan Elise. Melihat diriku sudah mati dan tergantung pasrah, tidak bisa berbuat apapun ketika gagak menggigiti kulit dan dagingku. Aku bergidik ngeri.

"Pokoknya aku tidak rela, kalau dia hanya mati karena sakit, atau karena usia." lanjutnya marah.

"Setidaknya aku ingin dia minta maaf kepadaku sebelum mati. Jika ia mati dengan cara tragis, mungkin lebih menyenangkan melihatnya menjerit-jerit minta maaf dan ampunan dariku sebelum akhirnya nyawanya melayang."

"Lalu, jika dia sudah terbunuh dengan tragis, apa kamu akan tenang?" tanyaku hati-hati.

"Ya, kupikir begitu." ia mengangguk pelan.

"Tapi bukankah itu sulit? Kau kan, tidak bisa mendekatinya!"

Elise lalu melirikku tajam, menyeringai. "Bagaimana kalau, kau yang membunuhnya?"

You Are (Not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang