20. Yes, I Will Never Be Alone

829 97 18
                                    

Aku hanya duduk membeku saat mobil polisi dan ambulans meraung-raung di depan rumah. Warga sekitar berkumpul dengan penasaran, lengkap dengan ponsel mereka yang merekam detik-detik saat polisi mengeluarkan kantung mayat kedua orangtuaku dan memasukkannya ke dalam ambulans. Beberapa awak media ikut meliput, bahkan melakukan siaran langsung.

"Jadi, si neng itu teh selama ini tinggal sama hantu gitu? Ih.. serem pisan,"

"Saya mah nggak tau ada yang tinggal di sini."

"Katanya mah meninggalnya udah lama."

"Tapi kenapa yah, mayatnya baru ketauan? Kan udah berbulan-bulan, cenah?"

"Iya, bener. Yang dulu juga udah beberapa bulan baru ketauan. Terus kan harusnya udah hancur banget mungkin, mayatnya?"

"Duka atuh abdi ge. Saurna mah pedah aya jurig anu ngajagaan di bumi ieu," ²

Dan berbagai desas-desus lainnya yang diutarakan warga dengan mata melirik-lirik takut ke arahku.

Aku hanya bisa membalas tatapan mereka satu per satu. Tak bisa mengatakan apapun. Tak bisa berteriak. Tak bisa menangis. Aku terlalu shock untuk bisa melakukan itu semua.

Yang bisa kulakukan hanyalah meringis kecil saat seorang dokter membersihkan darah dari pipiku dan mengobati lukaku.

Seorang polisi melangkah mendekatiku. "Maaf.."

"Nanti lagi saja." Ayah Niko tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk bahu polisi itu pelan. "Urus dulu yang lainnya."

"Baik, pak." polisi itu pun pamit undur diri dan menghilang di antara kerumunan polisi lainnya.

Ayah Niko berdeham pelan. "Saya.. sudah berhasil menghubungi tantemu. Dia sedang dalam perjalanan kemari."

"Te-terima.. kasih," aku memaksakan sedikit senyum sopan. Ayah Niko mengangguk, lalu kembali bergabung bersama tim kepolisian lainnya.

"Yang sabar ya, sayang." kata Ibu Niko dengan penuh kasih. "Omongan orang lain nggak usah didengar."

Aku mengangguk dan kembali tersenyum. Ibu Niko lalu pamit sebentar untuk menenangkan warganya yang lain, karena ternyata beliau ketua rukun warga di lingkungan ini. Beliau juga yang melarang para wartawan untuk mendekatiku.

Beni datang entah dari mana dan merangkul bahuku erat. Niko yang duduk di samping kananku melakukan hal yang sama.

"Sebenernya, gue udah curiga sejak lama." Niko buka suara. "Soalnya, gue nggak pernah liat ortu lo. Ortu lo selalu pulang kalau gue udah pergi, kan? Terus..."

"Udah, Nik. Ntar lagi aja bahasnya." sela Beni.

"Nggak, nggak apa-apa kok." aku tersenyum tipis sambil menatap Niko. "Thanks, ya. Selama ini kalian udah nemenin gue. Terutama elo, Nik. Lo selalu nemenin gue di rumah. Yang ternyata.. emang selama ini gue cuma tinggal sendirian di sana setiap hari."

"Santai aja," jawab Niko dan Beni bersamaan.

"Gue juga udah curiga cukup lama." aku mendongak memandang langit yang mulai mendung dengan pandangan menerawang. "Waktu pertama kali pindah, Papa nggak suka gue terlalu deket dan percaya sama Niko. Terus, ya, seperti kata Niko, ortu gue selalu datang malem banget, pas Niko juga udah pulang. Dan, waktu gue maksa pengen pindah dari rumah ini, Mama gue bilang 'Mama janji, kamu akan pindah dari sini,'³. Mama cuma bilang 'kamu', bukan 'kita'."

"Gue cuma..." aku menghela napas panjang. Kembali teringat mayat orangtuaku yang sudah membusuk, lengkap dengan pakaian kesayangan mereka yang mereka pakai di hari pertama kami pindah ke rumah ini. "Nggak nyangka aja, kalau ternyata selama ini gue bener-bener tinggal sama hantu."

You Are (Not) AloneDonde viven las historias. Descúbrelo ahora