4

6.6K 492 13
                                    


[Selasa, 03 Oktober,  Pukul 08.00 WIB,  Perumahan Gerilya-Binjai]

Okta Askan, kekasih Alcina yang telah berpangkat Letnan Dua di usianya yang masih 24 tahun itu, betah berdiri di ambang pintu rumah Alina. Dia masih menatap Alcina, mungkin ingin memuaskan pandangannya, siapa tahu ini terakhir kali dia melihat gadisnya. Yah, hanya kemungkinan.

"Berhentilah menatapku." Alcina memukul pelan dada bidang sang Letda.

"Apa kau bisa malu juga? Ahh ... aku hampir lupa kau juga seorang wanita." Okta mendekatkan kepalanya ke telinga Alcina saat mengucapkan kalimat terakhir.

"Ck, sepertinya kau merindukan kakiku di tulang kering mu."

Okta langsung mengangkat kedua tangannya ke atas dan mundur selangkah dari hadapan Alcina. "Aku hanya khawatir. Bagaimana jika pembunuh itu berkeliaran di sekitar sini dan membuatmu...."

Alcina menempelkan telunjuknya di bibir Okta, menghentikan kalimat yang akan meluncur. "Aku akan baik-baik saja. Haris akan menyewa di rumah depan dan enam anak buahmu akan menyewa di kanan dan kiri rumah ini. Alarm darurat sudah terpasang di beberapa tempat, begitu pun CCTV yang terpasang di sudut rumah. Haris dan rekannya akan selalu mengawasiku. Apa lagi yang kau khawatirkan, hmm?"

Okta meraih jemari Alcina dan mengelus punggung tangannya berulang kali, seolah tidak ingin meninggalkan gadis itu. "Aku selalu khawatir jika tidak di sampingmu. Berjanjilah kau akan selalu mengabariku apa pun yang terjadi?" Okta menunjukkan mata sendu, layaknya seorang anak kecil yang minta dibelikan mainan baru.

"Hahaha... kau terdengar seperti Kakek. Bagaimana aku bisa mengabari jika kau berada di daerah konflik, Tuan Letda?"

"Pokoknya kabari saja. Saat ada waktu senggang, ah tidak, saat apa pun pasti akan ku baca pesanmu, pasti akan kuangkat telpon darimu."

"Baiklah, baiklah, Tuan Letda Okta yang tercinta, sekarang saatnya pergi. Atau Jendral besar akan mengirimmu lebih jauh dariku."

Okta menghela napas kemudian memeluk Alcina sebelum benar-benar menghilang dengan mobilnya.

***
[Pukul 10.00, WIB, USU]


Ini hari pertama Alcina melakukan penyelidikan. Setidaknya begitulah yang dia tekankan dalam benak. 'Penyelidikan', sungguh tidak sesuai dengan jurusannya. Jika saja kematian Alina tidak ditutupi, sudah tentu tugas ini akan lebih mudah dilakukan oleh ahlinya, polisi misalnya. Sialnya, atas perintah ayahnya yang bahkan telah menghilangkan Alina dari daftar keluarga, maka kematiannyatidak, tidak, saat hidup pun kelahiran Alina telah mati bagi sang jendral besar ituharus ditutupi. Mati, hilang, musnah, dan sinonim lain yang menggambarkan ketiadaan, itulah makna Alina. Maka tidak heran jika kematian Alina harus tetap rahasia.

Alcina sangat yakin ada alasan lain sampai ayahnya harus merahasiakan Alina dari dunia, dan mengubah Alina Calista menjadi Alina Harvey merupakan pertanyaan terbesarnya hingga detik ini.

Alcina mengembuskan napas ketika bercermin. Dia sudah menyihir dirinya agar semirip mungkin dengan sang kakak. Walaupun fisik sama persis, tapi penampilan mereka sangat berbeda. Anggaplah Alina si cantik yang feminin dengan tutur lembutnya, sedangkan Alcina si tomboy dengan tutur kasarnya. Bahkan umpatan dan makian tidak pernah absen menemani setiap kali gadis itu marah. Anehnya, dia selalu ingin marah. Hasil didikan jendral besar itu membuatnya menjadi kuat dan sedikit kasar.

Beginilah sekarang penampilan Alcina. Rambut pirang sebahu yang digerai dengan kep bunga di rambut, make up tipis dengan lipstik warna pink-nya yang cocok dengan bibir tipis, atasan kemeja warna putih dengan rok biru sedikit di atas lutut. Ransel kecil berwarna cokelat serta heels berwarna senada. Buku besar bertuliskan 'Sastra' tidak lupa digenggamnya.

Siapa Pacar Kakak? [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant