6. Bantuan

6K 439 17
                                    

Apa kau merindukanku, Sayang?

Awalnya Alcina tersenyum dan senang karena mengira itu dari Okta yang menggunakan nomor baru lagi, sampai dia melihat ke mana pesan itu ditujukan. SIM 1, ke kartu SIM milik alina.

Alcina tentu saja senang setengah mati. Dia langsung menarik Haris mendekat. "Petunjuk." Gadis itu masih menatap layar ponselnya sambil berpikir, kira-kira kata apa yang cocok untuk membalasnya? Atau perlukah dia langsung menelepon? Jika dia Alina yang lembut dan ramah, apa yang akan dilakukannya sebagai seorang pacar? Menanyakan kabar sang pacar selama dua minggu ini? Atau mengatakan merindukannya juga? Bisa saja ini jebakan untuknya.

Selama 5 menit pertama setelah pesan itu muncul, Alcina dan Haris hanya menatap diam layar ponsel itu. Haris sebenarnya sudah menyuruh gadis itu untuk segera menjawab saja dengan santai, tapi malah disuruh diam sama si keras kepala Alcina.
Tak lama pesan baru datang dari nomor yang sama.

Kau masih marah?

Alcina semakin bingung. Apakah ini umpan? Jika menjawab 'ya', apakah bisa membuktikan dia Alina atau justru menjadi bumerang untuknya? Dia tidak tahu apakah pacarnya Alina berstatus saksi atau justru tersangkanya. Jika berstatus saksi, maka tentu ini bukan jebakan. Lain halnya jika dia sang pembunuh, sudah pasti ini umpan.

Akibat terlalu banyak memikirkan ini dan itu, Alcina justru semakin penasaran. Jadi, dia memutuskan langsung melakukan panggilan. Tentu saja Haris terkejut setengah mati, tapi sangat terlambat untuk menghentikan Alcina.

Pada dering kelima, panggilan diangkat.

"Halo?" sapa Alcina

"..."

Alcina mulai khawatir karena tidak ada jawaban dari seberang. Dia bahkan menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, mencengkeram kuat tali tas dan kakinya tidak mau berhenti bergoyang di bawah sana. Haris menahan napas, menunggu dalam ketegangan tinggi. Bahkan bulir keringat membasahi keningnya meski suhu di kafe itu terbilang cukup dingin.

"Kau bersama seseorang?" tanya dari seberang. Suaranya rendah dengan sedikit serak, khas pria.

Alcina sedikit terkejut, lantas mengedarkan pandangan ke sekitar. Apakah dia sedang dimata-matai? Agar pihak lain tidak curiga, dia berujar, "Hmm, begitulah."

"Kalau begitu, besok di tempat biasa jam 11. Aku menunggumu." Tepat setelah mengatakan itu, sambungan telepon terputus.

Hah? Tempat biasa apanya? Di mana tempat biasanya? Alcina berdiri ketika meneriaki ponsel yang sambungan teleponnya sudah terputus itu. "Arggghhhhhh, ini bukan petunjuk. Ini bencana. Bagaimana bisa aku tahu dimana Alina biasa menghabiskan waktu bersama pacarnya? Bahkan aku tidak tahu dia ini si pembunuh atau si pacar, atau justru keduanya."

Alcina yang emosi tanpa sadar membanting gelas berisi minuman, seketika membuat perhatian pengunjung di kafe terarah kepadanya. Haris tanggap situasi dengan segera membekap mulut gadis barbar tersebut dan mengatakan maaf kepada pengunjung lain yang menatap risih keduanya.

"Aku rasa kau perlu melakukan terapi, Sina. Emosimu yang kadang terlalu meledak itu bisa menghancurkan dirimu."

Alcina melemas di kursinya. Dia meletakkan kepala di atas meja dan kedua tangannya terjulur lunglai di sisi badan.
Besok. Sungguh waktu yang sangat singkat. Bagaimana dia bisa mengetahui lokasi itu jika dia saja baru kali ini menginjak kota Binjai? Lalu sebuah ide melintasi benaknya. "Haris, tidak adakah temanmu yang bisa melacak nomor telepon ini?"

Siapa Pacar Kakak? [COMPLETED]Where stories live. Discover now