(8) "Adik Ipar"

76 16 12
                                    

Jangan lupa vomment 🌟💬

happy reading-!❣️

🌷🌷🌷

"Kanya ikut!"

Ringgo maupun Anya menoleh ke arah sumber suara sebagai gerak refleks. Di sana—tepat di ujung pintu—seorang anak kecil sedang melambaikan tangan dan merengek minta ikut. Kemudian langsung berlari secepat mungkin menyusul keberadaan sang kakak.

"Kanya mau ke mana?"

"Kanya mau pergi dulu, Vano, kamu di rumah ya," kata Anya yang sudah berjongkok menyamakan tingginya dengan bocah itu.

Bahu Vano merosot mendengar larangan itu, matanya perlahan mulai berkaca-kaca, hendak menumpahkan tangisannya.

Ringgo pun ikut berjongkok, tangannya terulur mengusap puncak kepala Vano. "Mau ikut?"

Vano menganggukkan kepalanya antusias. "Mau, Om!"

Anya menutup mulutnya rapat-rapat, menahan diri agar tidak tertawa keras. Ucapan Vano sangat menggelitik, ditambah ekspresi Ringgo yang tak terima.

"Jangan panggil, Om, dong," pinta Ringgo, cowok itu mengulurkan tangannya mengajak berkenalan. "Kenalin, Cogan."

Vano mengerjapkan matanya lucu, lalu menerima uluran tangan Ringgo. "Aku Vano, Om Cogan."

Ringgo tertawa, merasa lucu dengan tingkah anak kecil itu. Rasanya pengin mengarungi dan bawa pulang untuk hadiah ke sang mami. Melupakan hal konyol tersebut, kini ia sudah kembali berdiri. Tangannya menuntun Vano menuju mobilnya.

Mereka bertiga sudah masuk dalam mobil. Tentunya bocah kecil—yang Ringgo perkirakan umurnya lima tahun—bernama Vano itu duduk sendiri di jok belakang.

"Kita mau ke mana, Kak?" tanya Anya.

Ringgo bergumam panjang. Sebenarnya ia juga bingung hendak mengajak Anya ke mana.

"Lo suka ke mana?" tanya Ringgo balik.

"Ke mana aja suka."

"Kalau gitu, ke pintu hati gue mau?" tawar Ringgo seraya mengerlingkan sebelah matanya.

"Pintu hati itu apa, Om Cogan?" tanya Vano, bocah itu menyembulkan kepalanya di tengah-tengah kursi.

"Pintu hati itu ... kalau orang yang kita sayang masuk ke dalamnya, pasti bakal indah berbunga-bunga."

Vano mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke pelipis seraya matanya melihat ke atap mobil. Bocah kecil itu berpikir keras, tidak mengerti maksud ucapan Ringgo.

"Pintu hati itu kayak pintu ajaib punya Doraemon?" tanya Vano lugu.

Ringgo tertawa keras, bagaimana bisa Vano terpikirkan sampai situ? Lalu ia hanya menganggukkan kepalanya saja.

"Kalau Vano mau masuk ke pintu hati Om Cogan, boleh? Vano pengen liat banyak bunga!" katanya antusias, tak lupa tersenyum lebar.

"Nya, tolong ...." Ringgo tak kuat menghadapi anak kecil. Kenapa ada saja hal aneh yang ditanyakan.

Anya menoleh menatap Vano. "Sayang ...."

"Iya, sayang?" balas Ringgo cepat, cowok itu langsung terkekeh saat mendapat pelototan cantik dari Anya.

"Udah ya, jangan tanya itu lagi. Kasian nanti Om nya bisa stres," kata Anya, sengaja menekankan kata 'Om' sambil melirik ke arah Ringgo sekilas.

"Tapi kata guru Vano, kita boleh tanya kalau gak tau, biar nambah ilmu," sahut Vano dengan gemas.

"Tapi kalau yang ini gak boleh."

"Kenapa?"

"Vano masih kecil, gak akan mungkin ngerti."

"Kata bunda, Vano udah gede. Soalnya Vano bisa pakai sepatu sendiri, makan sendiri, mandi sendiri," balasnya bangga, jarinya pun ikut menghitung jumlah hal yang bisa ia lakukan secara mandiri. "Vano juga bisa menghitung hafal satu sampai sepuluh, Vano udah tau warna-warna, Vano udah hafal abjad, Vano juga udah bisa nulis. Hmm ... apa lagi ya?" celotehnya tanpa henti, ia mengetuk dagu berulang kali dengan jari telunjuknya.

"Oh iya, Vano juga bisa eja nama Vano sendiri!" lanjutnya riang. "Kanya sama Om Cogan mau denger?"

"Coba," tantang Ringgo. "Nanti kalau emang beneran bisa, Vano mau apa aja Om Cogan turutin," lanjutnya yang tanpa sadar menyebut dirinya sendiri dengan panggilan 'Om'.

"Z-e-v-a-n-o," eja Vano. "Zevano."

"Kalau nama Om, gimana?"

"C-o-g-a-n, Om Cogan!" jawab Vano semangat. "Namanya aneh, Vano gak suka."

Ringgo tertawa, ia tidak salah, kan? Karena dirinya memang mengakui, jika ia termasuk kategori cowok ganteng. Percaya diri itu penting agar tidak insecure.

"Iya, Vano anak kecil yang pintar," ujar Anya kemudian.

Vano memanyunkan bibirnya, lalu menggeleng kuat-kuat. "Vano bukan anak kecil."

"Iya, iya. Vano bukan anak kecil," kata Anya sembari tersenyum tipis. "Nanti sepuluh tahun kemudian," gumamnya pelan.

Ringgo terkekeh mendengar itu.

"Nya," panggilnya, membuat si empunya nama menoleh. "Lo suka anak kecil, ya?"

Anya menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

"Jadi pengen cepet-cepet dihalalin deh," kata Ringgo.

"Emang Kanya itu babi?" sela Vano seraya mengernyitkan kening.

Ringgo mendumel tanpa suara, kenapa Vano begitu mengganggu? Tidak bisakah bocah itu diam dan duduk manis saja. Jadinya kan, acara romantisnya gagal. Tapi, adanya Vano juga bisa membuat dirinya terhibur.

Ringgo menepuk dahinya. "Capek, deh! Maksudnya, halalin ke KUA, Vano cogan."

Vano menggeleng. "Vano bukan cogan, Cogan itu kan nama Om."

"Apa kata bocah, dah," sahut Ringgo.

Vano tak lagi menyahut ucapan Ringgo, atensinya melihat ke luar jendela kaca mobil yang lebih menarik minat. Seketika matanya membelalak saat melewatkan sebuah taman yang terdapat badut berambut kribo.

"Kanya, Kanya!" teriak Vano seraya mengetuk jarinya di kaca jendela mobil, menunjuk ke arah luar. "Vano mau ke sana."

"Eh?" Anya langsung mengikuti arah pandang adiknya, lalu ia menoleh ke arah Ringgo. "Gimana, Kak?"

Ringgo pun mengangguk paham. "Boleh."

Ringgo memarkirkan mobilnya, lalu mereka bertiga turun. Saat Ringgo tengah mencari kesempatan untuk modus, Vano dengan tak tahu dirinya berdiri di tengah-tengah Anya dan Ringgo. Tangan kirinya menggandeng Anya, sedangkan tangan kanannya menggandeng Ringgo.

Ringgo menghela napas penuh sabar. Kakinya mengikuti langkah anak kecil itu. Menghampiri seseorang berkostum badut, bergabung bersama anak kecil yang lainnya. Sedangkan Anya dan Ringgo memilih untuk duduk sembari mengawasi.

"Nya, lo gak keberatan jalan gini sama gue?"

🌷🌷🌷

Salam💜,
Ikke.
•••

Bekasi, 21Apr21.

Humoris or Romantis?Where stories live. Discover now