○ 03. Asumsi ○

306 64 9
                                    

Sebelum terjadinya kekhilafan di hari itu, berbincang sepanjang malam dengan kedok deep talk bersama Chandra tentu saja bukanlah masalah besar bagi Wendy

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sebelum terjadinya kekhilafan di hari itu, berbincang sepanjang malam dengan kedok deep talk bersama Chandra tentu saja bukanlah masalah besar bagi Wendy. Namun setelahnya, semua terasa cukup berbeda. Selalu ada bayang-bayang kecanggungan yang menghantui pikirannya tiap kali ia harus berkontak dengan lelaki itu, baik secara langsung maupun via media sosial.

Gadis itu bukanlah tipe yang mematok sebuah keperawanan dari sekedar selaput dara. Lagi pula, ia sendiri juga sudah mencoba mengikhlaskan 'keperawanan'nya. Namun tetap saja, perasaan khawatir akan munculnya kekikukan yang mungkin terjadi antara dirinya dan Chandra yang sudah mengambil kali pertamanya itu adalah hal wajar.

Beruntungnya, (atau ketidakberuntungan mungkin?) di malam penuh kekhilafan itu, keduanya sedang berada dalam keadaan mabuk. Karena kalau tidak, Wendy sungguh tak sanggup lagi membayangkan bagaimana caranya ia menghadapi Chandra seperti sekarang.

Ya, bayangkan saja bagaimana rasanya tidur dan bercinta dengan sahabat lelaki yang sudah dianggap saudara sendiri tanpa sadar? Pasti aneh, kan?! Ya, kira-kira seperti itulah yang dirasakan Wendy saat ini. Bagi perempuan itu, hubungan mereka rasa-rasanya terlampau platonik untuk bisa berubah menjadi ikatan ketertarikan.

Tak jauh berbeda dengan yang dirasa oleh si gadis saat ini, Chandra pun sebetulnya sama khawatirnya setiap akan bertemu gadis itu. Dirinya sadar, kesalahannya di malam itu sungguh tak mudah untuk dimaafkan oleh seorang wanita. Irene saja yang berstatus kekasihnya mungkin akan marah kalau ditiduri tanpa izin olehnya. Apalagi ini adalah Wendy, sahabatnya sendiri. Dia punya hak apa untuk menjebol kegadisan perempuan itu?

Namun tetap saja ia bersyukur. Karena walaupun kejadian beberapa bulan lalu mungkin saja membuat Wendy tak ingin lagi mengenalnya, namun ia sama sekali tak melakukannya. Gadis itu tetap memilih untuk tetap berhubungan baik dengannya dan menjadi sahabatnya seperti yang sudah-sudah.

"Baru selesai mandi, lo?" Sapa Chandra sedikit canggung. Ia yang baru saja memasuki apartemen Wendy dengan kunci cadangan miliknya, langsung disuguhi pemandangan yang sedikit mengalihkan pikirannya.

Wendy yang merasa tak kalah canggung, masih berusaha mengendalikan diri seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk. "Ya iyalah! Nggak keliatan masih basah gini, Pak?"

Pria itu berjalan santai untuk meletakkan tas serta sebotol wine mahal yang didapat dari atasannya di meja dapur. "Nih, buat lo."

"Gaya banget lo bawa wine? Biasanya Orang Tua, doang." Candanya.

"Dapet dari bos gue tadi. Dia lagi mau nyoba buka pabrik wine, jadi anak-anak kantor pada dapet sisaan tester." Jelasnya pasca menghilangkan dahaganya dengan segelas air putih.

"Gue kira, lo mau ngerayain apa gitu pake acara bawa-bawa wine." Kekeh Wendy sambil menjemur handuknya di teras apartemen.

"Tadinya mau gue kasih Irene. Tapi anaknya nggak bisa dicontact seharian ini." Pria itu menjatuhkan diri ke atas sofa yang berukuran sedikit kontras dengan tubuh besarnya.

Last Night Story [REPUBLISH]Where stories live. Discover now