Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

1. Prolog

58.8K 3.7K 69
                                    

Ada darah di telapak tangannya. Bukan cuma darah, tapi juga gumpalan. Ya, Tuhan ....

Panik, Kania melemparkan gumpalan darah di tangannya, tapi benda lengket itu tidak mau lepas sama sekali. Lalu sebuah suara dingin dan kejam terdengar. Mula-mula lirih, tapi semakin lama semakin jelas dan membuatnya gemetar.

Pelacur! Pelacur! Pelacur!

Tangis Kania pun pecah. Dia mulai histeris dan berteriak keras.

"Aku bukan pelacur!"

Kania susah payah mengatur napasnya yang memburu. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat saat dia terbangun dengan cara menyakitkan.

Barusan itu hanya mimpi, gumamnya, mimpi yang benar-benar buruk. Gemetaran dia mengangkat kedua tangannya dan dengan saksama mengamati. Tidak ada darah atau gumpalan di situ. Hanya keringat. Syukurlah.

"Mimpi buruk lagi lo, Kai?" Suara Veby terdengar dari arah pintu.

Kania menoleh dan tersenyum pahit. Sahabat Kania itu terlihat mengantuk dengan rambut dan pakaian kusut, tapi kecemasan di wajahnya membuat hati Kania menghangat.

"Iya, Ve. Sori, gue jadi bangunin lo, ya?" sahutnya penuh sesal.

Veby tersenyum. "Enggak pa-pa, kok. Lo mau gue temani?"

Kania menggeleng. "Enggak usah, makasih. Gue oke, kok. Lagian besok lo harus kerja. Gih, balik sana."

Veby menatapnya lama. "Yakin?"

"Yakin. Makasih, Ve."

Veby tersenyum. "Ya udah. Gue balik, ya."

Kania mengangguk sambil memaksakan sebuah senyum balasan untuk Veby. Saat pintu tertutup dan langkah Veby sudah tidak terdengar lagi, dia langsung mengembuskan napas keras-keras.

Hampir enam tahun berlalu, tapi mimpi yang sama masih terus mengganggunya. Bukan, bukan sekadar mimpi buruk sebenarnya, tapi ingatan tentang hidupnya di masa lalu. Masa-masa yang begitu ingin dia lupakan.

Susah payah, Kania turun dari ranjang dan melangkah ke meja kecil di sisi lain kamar kosnya yang sempit. Dituangnya air ke gelas dan diminumnya, tapi gemetar di tangan membuat dia tergesa-gesa meletakkan gelas itu kembali ke meja.

Lalu hal itu terjadi, tubuhnya gemetar hebat, dan dia luruh ke lantai sambil menangis.

***

"Bunda udah sering enggak sehat, Dek. Kita harus bisa jaga suasana hatinya." Grace berkata sambil menutup pintu kamar sang bunda, Gail, yang baru saja terlelap. Dia berjalan mendekati Sebastian, suaminya, yang sedang membuai putri mereka.

"Taruh Rivka di kamar dulu, Bas," lirihnya, yang disahuti anggukan Sebastian. Pria itu beranjak ke kamarnya, sementara Grace mendekati Theo yang sedang duduk di meja dapur dengan gelas air minum di tangannya sambil mendengarkan perkataan kakaknya dengan serius. Ekspresi wajahnya datar meski hatinya dipenuhi kecemasan yang sama dengan Grace. Malah mungkin jauh lebih besar.

"Apa kata dokter, Kak?" tanyanya sambil tercenung.

Grace menghela napas. "Gastritisnya makin mengkhawatirkan. Kemarin ada luka yang lumayan, Bunda sempat muntah sampai warnanya hitam. Kakak sampai takut lihatnya. Belum lagi gula darahnya. Sudah begitu, Bunda susah banget dibilangin," gerutunya. Dia duduk di depan Theo dan menuang air untuk dirinya sendiri.

Theodore Alexander atau Theo berkedip lambat. Bungsu keluarga Alexander itu merasa sangat khawatir sekarang. Dengan gelisah dia meremas-remas jemarinya, sebelum memandang pada sang kakak ipar yang sudah kembali dan kini ikut duduk bersama.

"Abang, Bunda sayang banget sama Abang, kan? Coba, deh, Abang yang ngomong," pintanya.

Sebastian mengerjap, lalu menatap Grace. "Abang takut," jawabnya ragu.

Theo menghela napas. Dia tahu permintaannya terlalu berat.

"Enggak bisa minta Abang juga, Dek. Adek, kan, tahu kalau Bunda pintar main sama psikologinya Abang, kasihan Abang nanti."

Grace menatap adiknya lekat. "Kayaknya Bunda beneran kepingin Adek punya pasangan, deh. Coba, Dek, cari pasangan dulu."

Theo termangu. Dia menatap Grace dan mengembuskan napas berat. "Adek belum ketemu yang cocok, Kak," akunya jujur. "Belum ada yang mirip Bunda atau Kakak."

Grace menghela napas. Di mata sang adik memang tidak ada perempuan sebaik Grace dan ibunda mereka, dan itu benar-benar merepotkan.

"Ya ampun, Dek. Enggak bisa gitu, dong," katanya. "Setiap perempuan itu beda, unik. Coba, deh, Adek dalami langsung karakter perempuan yang Adek kenal, pasti ada keunikan yang akan membuat Adek enggak perlu membandingkan dia dengan Bunda atau Kakak."

Theo tercenung, lalu dia menatap kakak iparnya. "Ada pendapat, Bang?" tanyanya.

Sebastian hanya tersenyum tipis. "Sama dengan Grace," jawabnya pendek.

Theo terkekeh-kekeh geli. Sebastian selalu satu suara dengan Grace, sama persis seperti ayah dan bundanya dulu.

Ah, betapa indah hubungan yang dimiliki ayah dan ibunya, juga yang dilihatnya pada Grace dan Sebastian. Hubungan yang murni, berlandaskan cinta dan semua alasan yang benar untuk diperjuangkan.

Salahkah dia mengharapkan yang sama? Boleh, kan, dia menginginkan tulang rusuknya yang hilang? Dia menginginkan wanita yang tepat dan mampu membuatnya merasa lengkap. Karena meskipun dia dibesarkan dalam kesempurnaan cinta keluarga, tapi tetap saja, ada yang kurang. Dia tidak sempurna. Ada sebuah lubang menganga yang harus ditutup, sebuah gembok yang membutuhkan anak kuncinya, dan sampai saat ini, Theo masih belum punya gambaran kapan dia akan menemukan wanita itu. Wanita yang akan menerimanya dengan seutuhnya, seperti Gail yang menerima Revan, sang ayah, dan Grace yang menerima Sebastian.

Huh ..., siapa bilang Theo tidak ingin cepat-cepat punya pasangan?

His Darkest SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang