Lembar ke-3

55 4 7
                                    

Ardhan berjalan melalui koridor lantai satu yang berisi siswa kelas sepuluh setelah memarkirkan vespa matic abu-abunya itu. Ia mengenakan seragam pramuka lengkap dengan dasi pramuka yang sengaja ia tidak ikat karena 'cincin'-nya hilang, alhasil yaa begitulah adanya. Dia berjalan tenang dengan sesekali merapikan tata letak rambut lurus hitamnya itu. Ardhan menaiki tangga menuju barisan kelas sebelas, biasanya tangga ini ramai oleh anak-anak kelas sebelas yang sekedar menghabiskan waktu istirahat mereka karena sudah kehabisan bangku di kantin.

Laki-laki itu masuk ke kelas dan langsung duduk di tempatnya tanpa berbicara apapun. Teman-teman yang berada di hadapannya sedang sibuk menyalin pekerjaan rumah yang minggu kemarin telah diberikan. Biasanya Hema dan Garda sudah datang pagi-pagi sekali untuk menyalin tugas, tetapi mereka secara kebetulan belum datang. Ardhan mengeluarkan tugasnya dan mengerjakan beberapa bagian yang belum lengkap. Lalu tidak lama kemudian, suara nafas yang memburu terdengar di sebelah kanan dan di hadapannya. Ardhan mendongakkan kepala, menatap dua sahabatnya yang dadanya masih naik-turun dengan cepat.

"Gara-gara lo nih ... kita hampir telat! Mana belum ngerjain tugas! Bego lu ah!" umpat Hema di sisa-sisa nafasnya lelahnya.

"Dihh! Jangan nyalahin gua lah! Noh, salahin temen lu yang jalan duluan!" kata Garda sambil menunjuk Ardhan yang masih asik menulis seakan tidak memedulikan kedatangan mereka.

"Cepet salin, lima menit lagi guru favorit lu masuk," Ardhan memberikan buku tugasnya ke Garda dan Hema lalu laki-laki itu berjalan keluar kelas, mencari udara lepas karena perdebatan dua sahabatnya itu akan terus berlanjut sampai guru matematika datang. Ardhan memilih untuk duduk di depan kelas sambil mengisi buku pocket hitamnya. Ia merasa sendirian, padahal saat itu suasana koridor kelas sebelas IPS sedang ramai dengan para siswa yang memilih keluar dari kelas untuk menikmati suasana pagi hari yang agak dingin.

Ting! Ting!

Ponselnya berdering dua kali menandakan dua buah notifikasi masuk di ponselnya. Ia menutup buku pocket itu dengan rapi dan meletakannya di samping kanannya. Ia merogoh ponsel dan menggeser ponsel layar sentuhnya. Ternyata sebuah alarm yang memberi tahu kalau hari ini adalah ulangtahun ayahnya yang ke 45 tahun. Ia membuka kontak nomor dan mencari nama ayahnya. Ia ingin menelpon satu-satunya orang tua yang ia miliki saat ini, tapi niatnya ia urungkan ketika guru matematika itu sudah muncul dari tanggal.

Mungkin nanti ia akan menelpon ayahnya.

Ia segera memasuki kelas dan biasanya para siswa yang lain sudah memiliki tanda kalau manusia misterius itu sudah masuk berarti guru yang akan mengajar sudah berada di koridor. Sebagian siswa yang masih menyalin tugas mempercepat penyalinannya, seketika tangannya bisa bekerja lebih cepat daripada biasanya. Untungnya Garda dan Hema sudah selesai, jadi mereka sudah bisa tenang tanpa harus deg-deg-an setiap guru itu masuk ke kelas. Ardhan duduk dengan tenang dan membuka buku tugasnya.

Pembelajaran matematika pun dimulai oleh Bu Tria yang langsung menagih tugas. Dedo-Ketua Kelas-beranjak dari tempat duduknya dan menagih satu per satu tugas yang diminta oleh Bu Tria. Beberapa anak memberinya dengan pasrah karena ada sebagian soal yang belum sempat mereka kerjakan. Setelah lengkap semua, Dedo menyerahkan setumpuk buku itu ke Bu Tria. Guru itu memberi mereka tugas lagi karena harus mengecek satu per satu buku tugas muridnya. Aneh ya, Bu Tria memang agak kuno dari guru-guru yang lain. Dia lebih suka membuat dirinya yang sibuk daripada harus murid-muridnya. Di sisi ini, siswa-siswa di sekolah sangat senang atas kinerja Bu Tria yang tidak merepotkan mereka.

"Dhan, jangan lupa nanti pulang sekolah ke sekretariat OSIS dulu. Kita udah ada empat calon buat yang baca puisi lu, gue harap puisi lu udah siap," bisik Hema. Yang di ajak bicara hanya mengangguk karena terlalu fokus akan tugas yang diberikan oleh gurunya ini.

ParfaitOnde histórias criam vida. Descubra agora