Lembar ke-6

37 3 1
                                    

Ardhan mengurung diri semalaman ini di dalam kamarnya. Ia sama sekali tidak minat untuk makan ataupun mengundang kedua sahabatnya kesini. Ditambah lagi dengan ayahnya yang sedang berangkat ke Pontianak untuk beberapa waktu ke depan. Sesekali pembantu rumah tangga-nya mengetuk pintu kamar Ardhan, meminta dirinya untuk makan karena masakan sudah siap di meja makan. Ardhan tidak menjawabnya, ia berpura-pura tidur agar pembantunya itu pergi dengan cepat dari depan kamarnya.

Ponselnya berdering menandakan sebuah telepon masuk. Dengan malas ia menatap layar ponselnya itu yang bertuliskan nama "Garda" disana. Sungguh, laki-laki ini sama sekali mendiamkan telepon itu dan hanya menunggu panggilan tersebut berakhir. Total tiga kali Garda dan dua kali Hema menelpon Ardhan tanpa jawaban. Di grup juga Ardhan tidak membalasnya. Laki-laki itu tidak ingin diganggu saat ini. Ia hanya ingin sendiri tanpa ada siapapun.

Ardhan sudah menghabiskan limapuluh lembat kertas A4 untuk menuliskan semua puisi-puisinya. Kemudian puisi-puisi tersebut ia sobek dan membuangnya sembarangan. Lalu, ia mulai menulis lagi dan melakukan hal yang serupa secara berulang kali. Kamarnya penuh dengan sobekan kertas yang berhamburan disana-sini. Ia hanya ingin meluapkan suasana hatinya ke dalam bentuk puisi tetapi mengapa tidak bisa. Ia hanya ingin membuat jiwanya tenang lewat puisi tetapi mengapa masih ada yang mengganjal dirinya.

Tak bisakah aku sendiri
Menikmati hidup yang hampa ini
Merasakan rasa pahit ini
Yang tak bisa di bagi-bagi

Ku tak butuh kalian
Yang datang karena penasaran
Tanpa memberi jalan
Dan malah memperburuk keadaan

Ingin ku berjalan pelan
Hilang di tengah keramaian
Hingga aku tak usah berperan
Dalam drama yang memperihatinkan

Ku hanya ingin berlari
Pergi tuk beberapa hari
Menghilang di telan bumi
Dan tak pernah kembali lagi

Puisi terakhir yang di tulis Ardhan malam itu karena setelah itu ia langsung tak sadarkan diri. Ia terjatuh dari kursi meja belajarnya, membentur lantai keramik dengan begitu kuat.  Ia benar-benar pingsan karena tekanan yang ada di dalam pikiran dan perasaannya. Ia juga butuh perhatian dari seseorang yang sangat ia cintai dan sayangi. Ditambah ia juga belum makan dari sepulang sekolah dan terus saja meminum kopi setiap dua jam sekali. Jiwa Ardhan akhir-akhir ini sedang kacau dan menggila.

Ia ingin memberontak tetapi tidak bisa, seakan ada yang memaksa dirinya untuk bungkam dan tetap berjalan sebagaimana biasanya. Ia sangat tertekan dengan hidupnya yang sekarang. Maka dari itu, ia hanya ingin sendirian untuk beberapa waktu. Tapi sekali lagi, kemauannya tidak bisa di turuti karena ia harus melatih seseorang membaca puisi untuk mengisi penampilan ketika acara OSIS dua minggu lagi. Ia butuh ketenangan dan cinta, hanya dua hal itu. Namun, ia rasa kalau mendapatkan dua hal itu saja sangat sulit sekali.

Pintu kamarnya terbuka setelah dua orang laki-laki berusaha mendobraknya. Mereka berdua sontak terkejut karena kamar sahabatnya itu gelap gulita dan dipenuhi dengan sobekan-sobekan kertas yang berserakan di lantai keramik. Lalu pandangan mereka terhenti pada tubuh Ardhan yang tergeletak tak sadarkan diri. Garda membawa tubuh Ardhan keluar menuju mobilnya yang terparkir di garasi rumah Ardhan. Sementara Hema memanggil Mbak Sulas untuk ikut ke rumah sakit.

"Ada apa, Tuan Hema? Ada apa?"

"Mbak! Ayo cepet mbak kita ke rumah sakit, Ardhan ga sadar, badannya juga demam," kata Hema.

"Astaghfirullah, iya iya, tunggu."

Mbak Sulas langsung mengambil kerudung dan mengunci semua pintu dan jendela rumah. Ia berpesan kepada Yanuar—sopir cadangan Riyan—untuk menjaga rumah tersebut. Yanuar mengangguk dan mendoakan agar mereka selamat sampai tujuan. Setelah memastikan kalau semuanya sudah masuk ke dalam mobil, Garda langsung menancapkan gas mobilnya, meninggalkan rumah itu secepat kilat menembus jalan raya yang sudah mulai ditinggal kendaraan-kendaraan.

***

"Van, engga bisa apa lo ngajak gue ngobrol dulu gitu sebentar? Daritadi baca kertas itu mulu," keluh Afifah yang sudah tiga jam di kamar sahabatnya tetapi seperti tidak di anggap oleh pemilik kamar.

"Duh, maaf ya, Fah. Gue bener-bener stress karena gue mau tampil baca puisi, kan lo udah tau," kata Vanda yang menyudahi membacanya itu dan ikut nimbrung bersama Afifah.

"Kalo lo tampil di bawah tekanan, hasilnya bakal jelek, Van. Lo harus enjoy sama kewajiban lo itu," kata Afifah.

Vanda menyerahkan lembaran-lembaran kertas ke Afifah dan menyuruh sahabatnya itu untuk membaca dan memahami isi puisi tersebut. "Lo baca deh, itu tuh puisi tergila yang pernah ada di tangan gue. Gangerti apa maunya puisi itu, terlalu abu-abu tau ga sih, kek gaada kepastian emosinya mau kemana," ucap Vanda sambil memegang keningnya.

Afifah mengambil puisi-puisi itu dan ia letakan berdampingan antar satu sama lain. Perempuan itu menatap setiap kata dengan pandangan serius sementara Vanda hanya memperhatikan sahabatnya itu yang masuk ke dunianya sendiri. Lalu, ketika ingin berpindah ke kertas ketiga, airmata Afifah turun membasahi kertas kedua. Membuat perempuan itu menyudahi bacanya dan menutup wajahnya karena airmatanya tak bisa berhenti. Vanda hanya melongo menatap sahabatnya yang mendadak menangis tanpa sebab.

"Lo kenapa, Fah? Heh! Malah nangis," kata Vanda seraya mengambil sekotak tissue di meja belajarnya.

"Bego lo! Bego! Susah dimananya sih?! Ini tuh puisi maknanya dalem banget, masa lo gabisa ngerasain itu?! Bego!" kata Afifah di sela-sela tangisnya sambil menghapus air matanya.

"Hehe ... ya lo tau kan gimana gue, Fah? Gue kan engga kayak lo yang terlalu peka sama keadaan. Gue itu susah buat peka sama keadaan di sekitar gue," kata Vanda.

Afifah tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan hanya memilah puisi yang ada di hadapannya. "Pilih yang ini aja, gue suka," katanya sambil memberikan selembar kertas berisi puisi tadi kepada Vanda. Perempuan itu menerima puisi tersebut dan membacanya. Pilihan Afifah memang tidak pernah salah. Dari bacaan sekilas, Vanda sudah mampu menangkap makna yang terkandung amat begitu mendalam. Sahabatnya itu memang paling bisa di andalkan untuk hal ini. Tetapi lagi-lagi Vanda merasa kalau ada dinding yang tidak bisa ia tembus secara cepat. Ia harus merobohkan dinding kokoh itu terlebih dahulu.

"Tetep aja, Fah. Gue gabisa masuk ke puisi itu. Gue mesti ngapain dooong?" kata Vanda yang kesal sendiri karena menyadari dirinya yang sepertinya tidak bisa masuk ke dalam puisi tersebut.

Afifah menghela nafasnya, memberikan keluangan untuk menghentikan airmatanya itu. "Gampang sih caranya, lo tinggal pahamin dulu, apa maunya puisi itu. Emosi apa yang ada disitu, abis itu lu tinggal bayangin kenangan-kenangan yang ada di hidup lu yang emang satu jalur sama emosi tersebut. Abis itu gue yakin pasti lo bisa," kata Afifah.

Vanda menghela nafas. "Males banget kan nih gue harus kek gini. Flashback itu gaenak, Fah. Sumpah deh, gaenak banget. Gue gamau buka lembaran yang udah gue baca gitu lho karena gue gamau efeknya ada lagi."

"Sesekali lo harus flashback, Van. Hidup lo engga akan bernilai kalo lo ga belajar dari masa lalu. Engga selamanya masa lalu itu suram, engga. Cuman gimana kitanya menyikapi masa lalu tersebut," jelas Afifah.

"Dan gue gabisa menyikapi masa lalu gue kayak lo yang dewasa," balas Vanda lagi.

"Siapa bilang gue dewasa? Gue masih sama kek elo, Van. Cuman yang ngebedain gue sama lo adalah gue lebih berani untuk memutar waktu gue di masa lalu. Buat apa? Supaya gue engga bego dan semakin peka sama keadaan sekitar gue. Lo tau kan gimana pahitnya masa lalu gue? Disitu gue belajar lagi supaya gue mulai peka. Seharusnya lo juga begitu, Vanda," kata Afifah.

Vanda terdiam mendengar omongan Afifah. Dia memang tahu bagaimana masa lalu sahabatnya itu, mengenal cinta yang telat datang. Afifah tahu betul dimana letak kesalahannya sehingga ia mulai memperbaiki kesalahannya tersebut saat ini. Vanda memang lebih takut untuk mengulang masa lalu yang bahkan tidak menyakitkan daripada masa lalu Afifah. Tetapi perempuan itu memang enggan karena dia beranggapan kalau sudah nyaman dengan fase ini yasudah jalankan saja di fase ini. Ia enggan untuk mencoba fase baru yang mungkin memiliki resiko yang agak besar.

"I will try," kata Vanda.

ParfaitWhere stories live. Discover now