Lembar ke-4

38 3 1
                                    

"Vanda?"

Laki-laki itu menyebutkan nama seseorang untuk memastikan kalau nama itu adalah milik perempaun yang kini ada hadapannya. Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum tipis. Namanya Vanda Fatiya, seorang perempuan berusia 15 tahun yang sekarang duduk di kelas 10 di sekolah yang sama dengan Ardhan. Dia tergabung dalam ekstrakurikuler kepenulisan di sekolah dan mengajukan diri sebagai talent untuk pembacaan puisi di acara OSIS. Apalagi ditambah pengarang puisi tersebut adalah orang puitis di sekolah ini.

Tingginya cukup setinggi leher Ardhan dengam rambut lurus berwarna hitam dan ia jepit dengan penjepit rambut. Sebagai siswa kelas 10, dia bisa dibilang cukup aktif dalam ekstrakurikuler yang ia tekuni dan berhasil membuat buku pertama yang diterbitkan oleh kegiatan tersebut. Bisa dibilang kalau Vanda adalah titik kebangkitan dari ekstrakurikuler kepenulisan yang selama ini tidak di pedulikan, di anggap tidak ada, bahkan pernah di anggap kalau itu bukanlah ekskul melainkan komunitas ilegal. Atas dasar itu Vanda langsung berusaha sekuat mungkin dan menyadarkan ketua ekskul tersebut agar lebih semangat dan open-minded.

"Ini puisi dari saya, kamu pelajari, kamu pahami, abis itu kamu rasa. Saya kasih waktu 10 menit untuk itu semua, bisa?" tawar Ardhan yang langsung menyodorkan selembar kertas puisi itu.

Perempuan itu mengangguk tanpa menjawab dan mulai membaca barisan kata yang ditulis tangan dengan sangat rapi dan bagus. Vanda yakin kalau ini bukan tulisan tangan laki-laki misterius itu karena menurut dirinya tulisan laki-laki tidak lebih bagus dari jejak kaki ayam di jalanan yang sering ia temui atau lebih seperti rerumputan di savana. Vanda mulai membaca tulisan itu pelan-pelan dan mulai meresapi setiap kata yang tertulis disana. Sementara, sang pelatih sedang asyik duduk sambil menulis sesuatu di buku pocket hitamnya.

Malam ini layaknya biasa
Hujan yang turun tanpa rasa
Meninggalkan endapan luka
Yang masih saja tersisa

Ku berdiam diri disini
Menatap kubangan seraya meratapi
Kisah hidup yang kian menyakiti
Membuatku ingin cepat mati

Lalu dirimu datang
Membawa senyuman yang membentang
Memberi harapan yang menantang
Memeluk diri ini dengan tangan telanjang

Aku bertanya lagi pada diri ini
Apakah ini nyata atau hanya mimpi?
Jika nyata, ku ingin cepat pergi berlari
Jika mimpi, ku ingin tidur lebih lama lagi

Vanda sempat bingung dengan makna puisi yang baru saja ia baca. Di bait pertama dan kedua itu menyiratkan kesedihan lalu di bait ketiga menyiratkan kebahagiaan. Sementara bait terakhir seperti kebimbangan. Apa puisi ini maksudnya adalah harapan? Apa laki-laki misterius itu melukiskan dirinya disini? Tapi masa iya? Bukankah dia hanya melatih saja tanpa memikirkan apapun? Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Vanda karena selembar puisi itu dan posisi latihannya yang bisa dibilang cukup ekstrem. Mereka berdua sekarang sedang berada di rooftop dengan desiran angin yang cukup berhembus kencang.

Vanda menghela nafas panjang karena belum bisa masuk seutuhnya ke dalam puisi itu. Ia berjalan kesana-kemari demi mencoba untuk masuk ke dalam puisi tersebut. Namun, nyatanya ia tidak bisa. Entah mengapa, ia merasa kalau puisi ini sulit sekali untuk di serap. Seperti ada kekuatan yang mengganjal di dalamnya dan Vanda belum mampu untuk masuk. Dia merasa gelisah karena tidak dapat memasuki puisi itu.

"Sudah?"

Tubuh Vanda menegang ketika suara itu tertangkap oleh telinganya. Ia membalikan badan dan menangkap raut wajah datar Ardhan. Vanda bingung harus bersikap bagaimana, tidak mungkin ia bilang 'iya' kalau ternyata ia belum masuk ke puisi itu secara utuh dan tidak mungkin ia bilang 'belum' karena pelatihnya ini termasuk orang yang susah sekali di tebak. Jadi Vanda masih melamun tanpa menjawab apapun. Ia terlalu takut ketika berada di hadapan Ardhan yang masih menatapnya dengan sorot mata yang dalam.

ParfaitWhere stories live. Discover now