Lembar ke-7

67 3 0
                                    

Vanda sudah menunggu kedatangan pelatihnya sore ini di tempat biasa mereka latihan. Kali ini, ia juga membawa Afifah untuk menemaninya latihan sebelum pelatihnya itu datang. Vanda sudah mulai mengikuti perintah-perintah Afifah untuk memejamkan mata dan merasakan emosi-emosi yang ada di dalam puisi tersebut. Afifah meminta Vanda untuk mengekspresikan setiap kata yang tertulis di kertas itu dan juga mendalami emosi yang terkandung di dalamnya.

Tiba-tiba mata Vanda terbuka dengan sendirinya tanpa komandi dari otaknya. Kemudian, ia tersadar kalau dia bukan sedang di rooftop sekolah karena disini hanya ada kegelapan dengan garis-garis ungu gelap bercampur merah. Ia bertanya pada dirinya sendiri tentang keberadaannya saat ini. Ia berjalan sembarangan sambil berusaha meraba-raba agar tidak terkena apapun karena disini gelap sekali. Lalu, sebuah sinar putih berpancar redup, membuat perempuan itu penasaran dengannya. Dari sinar putih itu keluar beberapa barisan kata yang mendayu-dayu di kegelapan tersebut. Vanda tahu betul kata-kata itu karena ia pernah membacanya.

Namun, langkahnya terhenti ketika sinar putih itu berubah menjadi hitam dan menyerang dirinya. Tubuh Vanda terjatuh dan muncul rasa sesak di dadanya. Vanda bangkit dan berlari dari pandangan bayangan hitam itu. Ia berlari secepat mungkin tapi usahanya sia-sia karena ia kembali mendapat serangan bayangan hitam tersebut. Ketika kekuatannya sudah habis, sebuah jeruji berwarna putih mengurung bayangan tersebut. Vanda benar-benar ketakutan dan berjalan mundur ke belakang menjauhi jeruji yang mengurung bayangan mengerikan itu.

"Vanda!! Bangun, Van!!"

Teriakan itu sukses menyadarkan tubuh asli Vanda yang sedang tergeletak di atas paha Afifah. Keringat mengucur deras dari tubuhnya dan juga rasa sesak yang masih tersisa di rongga dadanya. Jantungnya berdetak tidak karuan. Ia seperti lomba lari marathon karena keringatnya sukses membuat rok abu-abu Afifah menjadi basah. Vanda melihat sekeliling dengan tatapan ketakutan. Pandangannya berhenti tepat di wajah Afifah. Perempuan itu reflek memeluk tubuh sahabatnya sambil menangis sejadi-jadinya.

"Gue takut, Fah. Gue takut ..." kata Vanda sambil menangis.

"Hei, lo takut kenapa? Disini ada gue, lo tenang ya," kata Afifah berusaha menenangkan sahabatnya. Sejujurnya ia juga panik ketika melihat tingkah Vanda barusan.

Setelahnya Vanda tidak berkata apa-apa lagi dan memilih untuk pergi meninggalkan sekolah. Afifah juga menyetujui hal tersebut karena matahari juga sudah mulai terbenam. Kali ini, Afifah yang membawa motor karena tubuh Vanda sudah tidak sanggup untuk melakukan apapun. Perempuan itu hanya ingin tidur untuk membayar rasa lelah karena mimpi buruknya tadi. Lagi-lagi Afifah hanya mengangguk mendengar permintaan sahabatnya itu. Mungkin ia harus menginap di rumah Vanda untuk menemaninya semalaman karena besok adalah hari Sabtu dan sekolah diliburkan berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

"Lo kenapa tadi? Cerita sini, gue dengerin," kata Afifah di malam harinya setelah Vanda beristirahat dengan tenang.

Perempuan yang di ajak bicara ini meminum segelas air mineral untuk memperlancar tenggorokannya. Dia terdiam sejenak, rasanya enggan untuk mengulang kejadian mengerikan itu tetapi ia juga harus memberi tahu Afifah perihal kejadian tadi. "Ceritaaa, bukan diem ihh," kata Afifah.

"Iya iyaa, tadi kan lo nyuruh gue buat nutup mata dan berusaha ngerasain emosi yang ada di setiap kalimat puisi itu. Awalnya gue biasa aja sampe mata gue ngebuka sendiri dan gue sadar kalo gue bukan di tempat semula. Jadi tuh hitam sama gradasi merah ditambah ungu gitu lho, Fah. Gue kan kepo ya, gue akhirnya jalan aja nyusurin dunia itu. Terus gue berhenti pas ngeliat sinar putih itu. Sinar itu goyang-goyang gitu, Fah kayak melambangkan kesenangan gitu, tapi redup banget. Dari sinar itu keluar rangkaian-rangkaian kalimat dari puisi yang emang lagi gue hayatin kan. Pas gue ngedeket, sinar itu berubah dong jadi bayangan hitam pekat banget. Dia nyerang gue kek ngedorong gitu lah. Terus gue di kejar-kejar sama dia dan ia ngedorong gue lagi. Dia kayak orang gasuka gitu ngeliat gue, nah pas gue udah terlalu capek bayangan itu di kunci gitu sama jeruji yang mendadak dateng. Pokoknya ngeri banget deh," kata Vanda.

Afifah yang mendengar cerita itu hanya melongo karena otaknya tidak mampu mencerna imajinasi yang luar biasa itu.

"Terus yang mesti lo tau adalah, gue ngeliat sosok Ardhan di dalam bayangan itu," kata Vanda.

Perkataan Vanda barusan sukses membuat Afifah jadi takut sendiri. Pasalnya eksistensi Ardhan sangatlah berbau mistis karena laki-laki itu jarang berkomunikasi dengan orang lain selain dua sahabat dekatnya itu. Rumor yang beredar juga kalau Ardhan sengaja tidak ditemani karena sikapnya yang aneh dan menyeramkan. Apalagi, kehadiran Garda dan Hema yang menjadi sahabat Ardhan dianggap sebagai rasa kasihan saja karena laki-laki itu tidak mempunyai teman. Pikiran Afifah semakin kacau karena dia mengira laki-laki itu memiliki monster di dalam tubuhnya.

"Jangan-jangan dia punya monster sejenis Kyuubi yang bisa keluar kalo lagi marah? Dihh serem banget sih Kak Ardhan itu," kata Afifah yang memang menjadi fans berat serial anime Jepang bejudul Naruto itu.

"Jangan sinting deh, Fah! Engga mungkin lah. Bisa jadi kalo itu cuman imajinasi gue yang terlalu berlebihan. Jangan di hubung-hubungin sama pemikiran abstrak lo itu deh," kata Vanda.

"Yaaa siapa yang tau, Van?"

"Yang tempe, banyak. Udah ah, lo mau makan apa? Gue mau masak nih, bantuin kalo perlu," kata Vanda yang langsung keluar kamar.

Afifah tidak menjawab dan hanya menyusul kepergian sahabatnya itu ke dapur. Vanda mengambil beberapa bahan makanan yang sudah tersedia di lemari dapurnya. Afifah yang belum tau harus melakukan apa hanya memperhatikan sahabatnya itu yang lihai mengeluarkan bahan-bahan masakan. Setelah tau apa yang ingin di masak barulah Afifah mengambil peran untuk makan malam mereka berdua.

"Van, lo sadar ga sih?" kata Afifah sambil mengiris beberapa bawang putih tipis-tipis.

"Sadar apaan?"

"Dibalik sifat misteriusnya, Kak Ardhan itu ternyata ganteng tau, udah gitu pinter juga," kata Afifah.

Vanda menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah sahabatnya itu. "Jangan bilang kalo lo naksir Kak Ardhan? Please jangan bilang kek gitu."

"Apaansih lo?! Ngaco! Gue aja engga kenal dia. Gue cuman ngeliat dia di perpus doang. Selebihnya engga pernah, bahkan papasan aja engga pernah," kata Afifah.

"Jadi?"

"Udahlah lanjut aja masaknya, abis ini lo latihan baca puisi itu lagi sama gue," kata Afifah.

Vanda tidak merespon apa-apa dan malah asik sendiri mengurus bahan masakannya. Berdua dengan Afifah, mereka menciptakan makanan yang mungkin bisa dibilang terbaru karena ini adalah hasil kreasi mereka sendiri. Setelah makanannya siap tersaji di meja makan, kini giliran mereka membuat minuman yang akan bernasib sama seperti makanannya, yaitu kreasi sendiri.

"Btw, Fah. Sadar ga sih seharian ini kita engga ngeliat Kak Ardhan, Kak Hema, atau Kak Garda?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 18, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ParfaitWhere stories live. Discover now