Lembar ke-5

29 2 1
                                    

Seharian suntuk Vanda berkutat dengan selembar kertas yang ia pegang. Beberapa kali ia mencuri pandang untuk membaca kertas itu ketika gurunya tidak begitu memperhatikannya. Dia juga sudah melihat cara di youtube tentang bagaimana cara agar jiwa kita masuk ke dalam puisi itu. Tapi usahanya tetap saja gagal sampai ia merasa kalau sudah terlalu malas dengan puisi ini. Di sisi lain, ia juga tidak ingin meminta puisi lain ke pelatih yang usianya berada di atasnya setahun.

"Kenapa sih, Van? Suntuk banget keliatannya dari tadi," kata seorang perempuan yang sedang asyik menyantap makanan yang ia beli tadi di kantin. Yang di ajak bicara hanya terdiam tanpa memberi respon apapun. Perempuan yang tadi berbicara mencubit tangan sahabatnya itu dengan agak keras membuat Vanda terkejut dan mengaduh kesakitan.

"Apaan sih, Fah? Sakit tau!" kata Vanda sambil mengusap-usap bagian tangannya yang terkena serangan cubitan.

Afifah tertawa sejadi-jadinya melihat ekspresi Vanda yang sedang kesakitan itu. "Lagian, gue tanyain dari tadi kaga di jawab-jawab, gue kan kesel," katanya membela diri.

"Elu nanya apa emangnya?" kata Vanda.

"Udah udah! Lupain aja, engga penting," kata Afifah pura-pura ngambek.

"Hmm jangan sok ngambek, balik jalan kaki ae sono kalo ngambek-ngambek," kata Vanda mengancam yang disambuh kekehan Afifah. Afifah pun berkata kalau dia tidak ngambek dan mengulang pertanyaan yang tadi. Vanda mengangguk mendengar pertanyaan sahabatnya itu. Hah, namanya juga Afifah, perempuan itu terlalu peka dan over perhatian sama orang-orang yang sudah dekat dengannya. Apalagi Vanda yang bisa dibilang sudah menjadi temannya sejak kecil karena rumah mereka yang tetanggaan.

"Gue ngajuin diri jadi pembaca puisi di acara OSIS untuk dua minggu ke depan. Lo tau Kak Ardhan yang katanya cowok puitis di sekolah kita 'kan? Tau 'kan? Nah, dia yang jadi pelatih gue. Lo mesti tau puisi yang dia kasih ke gue. Astaga, Fah! Gue hampir mati berdiri tau ga sih karena gabisa-bisa masuk ke dalam puisi itu. Gue tuh sampe heran ada apa dibalik puisi itu ..."

Vanda meneruskan ocehannya sampai Afifah menendang kakinya dan perempuan itu mengaduh kesakitan. "Apaan sih?!" Mata Afifah bergerak ke kiri dan secara otomatis Vanda menoleh ke arah yang di arahkan mata Afifah. Vanda terkejut ketika mendapati sosok Ardhan yang sedang makan dan duduk berjarak dua meja setelah perempuan itu. Vanda langsung membungkam mulutnya dan berharap kalau omongannya tidak di dengar oleh telinga pelatihnya itu.

"Kenapa lo engga ngasih tau gue dari tadi sih?" kata Vanda sembari berjalan menyusuri koridor kelas sepuluh bersama Afifah yang sedang asik membaca novel.

"Dihh gimana mau ngasih tau kalo lo aja terus nyerocos," kata Afifah tak mau kalah dan merasa kalau tindakannya adalah benar.

Vanda membungkam suaranya dan malah berjalan terus meninggalkan Afifah seorang diri. Afifah mengangkat kepalanya dan mencari-cari keberadaan Vanda. "Kebiasaan, ya Allah. Temen gue kenapa baperan banget ya jadi orang, astaghfirullah," kata perempuan itu yang langsung berlari mengejar langkah Vanda yang sudah hampir menghilang dibalik kerumunan siswa lain di koridor. Bisa dibilang kalau Vanda sudah merajuk seperti itu, Afifah tidak akan mendapat jawaban ulangan fisika nanti.

***

"Ini ada beberapa puisi lagi, kamu pilih," kata Ardhan sambil menyerahkan beberapa lembar kertas yang dipenuhi dengan rangkaian kata yang indah dan juga tulisan tangan yang sangat bagus untuk ukuran laki-laki.

Vanda memegang beberapa lembar kertas itu. Ia mulai membacanya satu per satu dan berusaha memilah puisi mana yang cocok dengan dirinya dan mudah untuk masuk ke dalam suasana yang dibangun. Namun, lagi-lagi tidak ada puisi yang di kasih Ardhan dapat di mengerti oleh perempuan itu karena puisinya itu benar-benar melukiskan suasana hati penulisnya, seakan ada dinding tinggi yang membatasi pihak luar untuk masuk ke dalamnya.

"Kayaknya aku tetep pilih yang ini, Kak. Hampir seratus persen aku udah mulai masuk ke puisi yang ini. Kalau misalkan di ganti, aku pasti butuh waktu yang lama lag--"

"Yaudah silahkan, baca puisinya," sanggah Ardhan tanpa ingin mendengarkan celotehan Vanda yang sepertinya akan lebih panjang.

Mendengar omongan itu tubuh Vanda menegang dengan mata yang melotot. Praktek baca? Hari ini? Perempuan itu sama sekali belum siap dengan permintaan Ardhan yang seperti ini. Tetapi, rasanya ia sudah terlalu banyak menolak bantuan pelatihnya itu. Jadi, ia akan melatih dirinya membaca puisi di depan penonton yang saat itu memang hanya ada Ardhan disana. Vanda mulai membaca puisi itu dengan emosi yang masih sulit di kontrol.

"Stop!"

Vanda menghentikan suaranya dan matanya menatap lurus ke arah Ardhan yang juga sedang menatap dirinya. Laki-laki itu berjalan menuju ke arahnya dan mengambil kertas itu. Ia merobek kertas itu dan membuangnya ke sembarang tempat membuat mata Vanda terbuka dan kepalanya terangkat. Ia sama sekali tidak mengerti dengan pelatihnya itu. Sebenarnya ada masalah apa di dalam dirinya sehingga ia bersikap aneh seperti tadi. Kertas itu di robek begitu saja seakan-akan puisi itu bukanlah sesuatu yang berharga.

"Pilih salah satu puisi yang saya kasih tadi, kalau tidak, kita gaakan maju buat penampilan. Latihan selesai, lanjutkan di rumah," kata Ardhan memutuskan secara sepihak.

Vanda hanya menatap tubuh laki-laki itu dengan tatapan penuh tanya. Sebenarnya ada masalah apa sih dirinya dengan laki-laki itu sehingga membuat proses latihan ini berjalan abstrak dan seolah hanya sia-sia belaka. Ardhan mengambil tas dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Vanda sendirian untuk kesekian kalinya. Perempuan itu masih mematung disana, berusaha untuk menenangkan dirinya. Sebenarnya Vanda jatuh cinta dengan puisinya itu, tetapi mengapa sulit sekali bagi dirinya untuk masuk ke dalam jiwa yang ada di puisi tersebut.

Vanda memunguti semua sobekan kertas berisi puisi tadi dan memasukanya ke dalam buku. Ia memejamkan mata untuk menurunkan emosi yang sudah terlanjur naik karena keanehan kakak kelasnya itu. Nilai minus sudah tertera jelas di mata Vanda ketika ia melihat Ardhan. Sosok laki-laki misterius, aneh, dan seenaknya sendiri untuk memutuskan suatu hal. Bisa dibilang laki-laki itu egois dan sangat perfeksionis. Kedua hal itu bisa ditemukan ketika Vanda baru bermitra kerja dengan dirinya.

Setelah dirinya tenang, dia segera meninggalkan tempat itu dengan cepat karena Afifah sudah selesai latihan menari. Sebelum bertemu Afifah, Vanda harus mengembalikan mood-nya terlebih dahulu agar Afifah tidak menyadari dan tidak menghujani dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang nantinya juga akam di ceritakan. Dari kejauhan, Vanda melihat sahabatnya itu sedang mengobrol dengan laki-laki yang lebih tinggu dari sahabatnya itu di dekat gerbang sekolah. Vanda seperti kenal dengan laki-laki itu.

"Fah! Udah siap?" tanya Vanda.

Yang dipanggil namanya justru terkejut dan hanya merespon pertanyaan Vanda dengan anggukan kepala. Dengan malas, Vanda berjalan menuju parkiran motor dan menyalakan mesin motornya tersebut. Lalu tidak lama kemudian datang Afifah dengan senyuman yang sangat lebar sore hari ini. Vanda tidak begitu peduli dengan kondisi kejiwaan sahabatnya saat ini karena sekarang pun ia masih bingung dengan manusia bernama Ardhan itu. Perempuan itu sudah mempersiapkan telinganya kalau Afifah terus saja berbicara di sepanjang jalan.

"Lo tau Théo 'kan?" kata Afifah lengkap dengan pergelangan tangan yang menyerong ke kanan ketika huruf 'e' keluar dari mulutnya.

Vanda mengangguk. "Kenapa?"

"Dia yang jadi pasangan gue dansa nanti dong pas acara OSIS!! Ihh seneng banget!!"

"Hmm ... biasa aja, jangan terlalu seneng. Ntar di sakitin," kata Vanda.

"Dihh! Kenapa sih lo jutek banget, cemburu?"

"Cemburu sama lo? Idih! Ayo udah buruan!"

ParfaitWhere stories live. Discover now