Chapter 08

3.4K 382 3
                                    

"Mbak, Mas Pulung ngamuk lagi, ya?" Liya menghentikan aktifitas memotong wortel saat melihat Kinan masuk ke dapur.

"Nggak kok." Kinan membuka tudung saji dan mencomot bakwan sayur.

"Itu." Dagu Liya menunjuk ke keranjang sampah di dekat tabung gas, ada pecahan kaca.

"Oh, tadi aku nggak sengaja mecahin."

"Jadi, bukan Mas Pulung?"

"Bukanlah."

Kinan menarik kursi, lalu duduk. Ia mengamati punggung Liya yang sedang sibuk memotong sayuran.

"Ya, kita temanan yuk, sama Pulung," ajak Kinan yang sontak membuat Liya memutar tubuh ke belakang dengan pisau mengarah padanya. "Ya, pisau." Tunjuknya ngeri.

Liya meletakkan pisau ke atas talenan kayu. "Temanan sama Mas Pulung? Yang benar aja, Mbak?"

"Masa bohongan?"

"Ogah." Liya mengangkat kedua tangan di depan dada. "Aku masih ingin hidup tenang."

"Tapi Pulung butuh teman."

Liya terdiam sesaat. "Takut, Mbak," sahutnya lirih. "Mbak Kinan aja."

"Sekarang aku temannya." Kinan tersenyum jenaka.

Liya menarik kursi dan duduk di depan Kinan. "Bukan salah kita kalau Mas Pulung nggak punya teman. Sikapnya itulah yang membuatnya nggak punya teman. Dia seperti sengaja membuat jarak."

"Iya, benar."

Kinan baru menyadari kalau selama ini Pulung memang sengaja membuat jarak. Seperti ada dinding pembatas yang tidak ingin dimasuki. Dan, perlahan Pulung mulai meretakkan dinding pembatas itu. Ya, Pulung mulai bisa tersenyum. Ya, bahkan tanpa disadarinya bahwa Pulung sudah memercayainya. Pulung menepati janji dengan bersikap manis dan bukankah itu bentuk kepercayaan Pulung padanya. Sekarang ia tahu. Pulung menahannya pergi karena menginginkan teman untuk menemaninya.

"Mbak, ada sesuatu?"

"Huh?" pekik Kinan.

Liya menumpukan kedua siku lengan di atas meja dengan tubuh mencondong ke depan. Matanya coba menyelidik Kinan yang meskipun tersenyum jenaka tapi terselip wajah murung. "Ada apa di Jakarta?"

"Nggak ada apa-apa."

"Aku tadi melihat Mbak Kinan sedang mengepaki baju. Mbak Kinan mau ke mana?"

Kinan terdiam.

"Kalau Mbak Kinan kabur, aku juga berencana buat kabur."

"Rencananya memang begitu." Kinan menuang air dalam teko plastik, lalu menenggak sekali tandas.

"Mbak Kinan seriusan?" Liya mengeluarkan suara melengking.

"Tapi nggak jadi setelah aku berpikir," Kinan menekap gelas dalam genggaman, "alasan apa yang harus membuatku tetap berada di sini?"

"Karena Mas Pulung butuh teman?"

"Mungkin."

"Kenapa Mbak Kinan harus memaksakan diri?"

"Karena saat ini dia prioritasku." Kinan menghela napas, terdiam cukup lama, lalu berkata, "Kemarin aku ke Jakarta menemui Armand Nugraha. Pemilik AN Pictures. Aku mengirimkan skenarioku dan tadi aku menerima telepon dari Armand Nugraha yang bilang skenarioku diterima."

"Alhamdulillah. Kabar bagus, Mbak."

"Tapi aku harus ke Jakarta untuk mengikuti pengembangan ceritanya."

Bahu Liya melorot. Seakan sudah bisa menebak jalan ceritanya. "Mbak, sekolah aja aku hanya lulusan SMA. Mau kuliah tapi nggak punya duit. Mau mimpi pun takut ketinggian. Jadi yang bisa kulakukan sekarang ya, bekerja. Mengumpulkan duit, lalu kuliah. Itu sih mimpiku. Kalau Mbak Kinan sih enak sedang menjalani mimpi."

It's Nothing Changedحيث تعيش القصص. اكتشف الآن