Chapter 13

2.9K 340 11
                                    

"Kita akan membebaskannya setelah dia dapat tebusan." Pria kurus berkulit gelap membuang puntung rokok ke tanah, lalu menjejaknya dengan sepatu.

Temannya, pria bertubuh lebih pendek dengan brewok tipis, menyedekap lengan di depan dada. Jaketnya tak sanggup menghalau udara dingin yang menyergapnya. Matanya mengawasi area sekitar gubuk yang sedang dijaganya.

"Kalau orang tuanya nggak ngasih tebusan, kita apakan anak itu?"

"Kita bisa menjualnya. Tubuhnya sehat, pasti uang yang dihasilkan juga banyak." Pria berkulit gelap itu tersenyum culas. "Ke mana ini Si Bos? Kenapa masih belum ngasih perintah-perintah juga."

"Dia anaknya siapa, sih? Bapaknya pengusaha mana?"

"Yang aku dengar, bapaknya pengusaha keramik terbesar di Indonesia."

"Tebusannya banyak dong?" si pria berbrewok ikut tersenyum culas.

"Udah pasti."

Obrolan itu terdengar oleh seorang anak laki-laki yang sedang disekap di dalam gubuk oleh kedua penculik itu. Ia meringkuk memeluk tubuhnya yang ringkih. Dingin serta lapar tak lagi dirasakannya. Seakan mati rasa. Ia hanya ingin keluar dari tempat ini, kembali ke rumah, dan makan masakan ibu.

Pulung kecil, yang saat itu berusia dua belas tahun, kian merapatkan tubuhnya di sudut meja saat pintu terbuka dan menampilkan wajah pria kurus berkulit gelap.

"Hei, Bocah. Sepertinya kamu bakal lebih lama di sini." Pria itu berjongkok di hadapan Pulung. "Bapakmu belum ngasih tebusan. Bapakmu lebih sayang duitnya daripada menyelamatkan anaknya sendiri." Ia mengusap-usap rambut Pulung. Berpura-pura prihatin dengan nasib Pulung.

Pulung menarik mundur kepalanya. "Aku mohon... lepaskan aku... jangan sakiti aku..." ia tersisak. Tubuhnya bergetar entah karena dingin atau takut, atau mungkin belum makan seharian ini.

Telepon dalam gubuk berdering. Pria itu berdiri untuk menjangkau gagang telepon di atas meja. Matanya masih mengawasi Pulung dengan tatap culas.

"Ya, Bos... Baik... Baik... Baaiik, Bos."

Pria itu menutup telepon, berjalan kembali menghampiri Pulung, lalu duduk berjongkok di hadapan Pulung.

"Bapakmu baru saja ngasih tebusan. Selamat. Akhirnya kamu, Bocah, bebas juga."

Pria itu memanggil temannya yang masih berjaga di luar. Mereka menutup mata Pulung dengan kain hitam, mengikat kedua tangan Pulung, menyeretnya masuk ke dalam mobil.

Air mata Pulung merembes basah dibalik kain penutup mata.

"Bapakmu ternyata masih sayang anaknya juga."

Mobil yang dikemudikan melaju di tengah hutan. Angin malam bergemerisik dingin. Entah berapa lama perjalanan, mobil pun akhirnya berhenti di sebuah gudang tua nan kosong. Pulung diseret turun dari mobil. Langkah kaki kecilnya tergopoh-gopoh mengikuti langkah besar si pria itu.

Kaki Pulung berdiri gemetar. Hidungnya mencium bau lembab. Tempat yang diyakininya telah lama kosong. Telinganya mendengar derap langkah sepatu memasuki gudang. Ia berharap ayahnya datang menyelamatkannya, tapi beberapa detik kemudian harapannya lenyap saat si pria yang memegangi lengannya kasar itu memanggil seseorang yang datang dengan:

"Bos."

Tak ada suara yang mengeluar dari mulut Si Bos. Namun, Pulung bisa mengendus dengan sangat, amat, jelas sekali aroma parfum Si Bos. Dada Pulung terasa sesak. Ia kehabisan napas untuk bernapas.

Tangan Si Bos menggenggam pundak Pulung. Mengguncangnya. Pulung makin sesak napas. Ia harus segera keluar dari tempat ini untuk menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.

It's Nothing Changedحيث تعيش القصص. اكتشف الآن