CHAPTER 07

106 10 2
                                    


"MAMA, baba." Sapa Aryan yang baru turun ke bawah. Terhincut-hincut dia berjalan ke sofa. Duduk kemudian dilabuhkan. Sertai kedua orang tuanya tonton televisyen.

"Loh, Aryan. Kok kamu turun ke bawah, sih?"

Ibu Dian sedikit kaget. Namun Aryan hanya pamer segaris senyuman.

"Kamu kan lagi belum sihat. Ngapain turun ke sini? Kan mama udah bilang, kalau butuh apa-apa bilang aja pakei telefon."

"Aryan nggak apa-apa, ma."

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Kalau kamu jatuh tadi, gimana?"

"Mama usah khawatirlah. Aryan cuma pengin nonton TV doang."

"Di kamar juga bisa nonton, kok."

"Tapi di sini lagi ada baba sama mama. Bisa nonton bareng. Buat teman. Lagian, Aryan juga bosan duduk di kamar terus."

"Biarin aja dia, ma. Pasti dia lagi bosan sendirian di atas sana," celah Pak Aryawan.

Seperti biasa, Ibu Dian kunci bicara. Kalau ayah dan anak dah bergabung, alamat mengalahlah dia jawabnya.

"Kamu mau makan malem? Mama siapin sekarang."

"Nggak usah, ma. Aryan belum lapar. Kalau mau nanti Aryan kasitau, ya."

Niat Ibu Dian untuk bangun lansung termati. Seketika, wajah anaknya diamati.

"Mama ngapain, sih? Tenung Aryan sampei begitu sekali?"

"Nggak kenapa-kenapa. Cuma hati mama lagi sayu melihat kamu."

Dahi Aryan berkerut. "Kenapa?"

"Ya iyalah. Mama ini udah lama banget kok nggak ketemu sama kamu. Terus, waktu kamu pulang kelmarin, mama harus nyambut kamu dengan muka penuh lebam dan luka-luka itu. Gimana hati mama nggak sayu. Sedih mama lihat, tau! Sakit! Sebel!" luah Ibu Dian. Dadanya turut dipegang.

"Udahlah, ma. Pokoknya Aryan udah selamat sekarang, bukan. Udah ada dengan kita. Makanya mama harus gembira malah bersyukur."

"Baba benar, sih. Aryan udah pulang kan sekarang. Dalam keadaan yang sempurna lagi. Cukup tangan. Cukup kaki. Cukup segala. Cuma mukanya aja kok yang dikit parah. Sama kaki ini. Jadi ngapain mama harus terus sedih?"

"Masakan nggak. Kamu tidak tau gimana perasaannya mama saat mendengar kamu diculik. Bukan sehari dua. Malah berminggu-minggu. Siapapun pasti akan merasakan begitu!"

"Ya... Aryan ngerti kok perasaan mama. Soalnya sekarang Aryan udah kembali, ma. Harusnya mama lagi happy. Nggak usah sedih-sedih. Nanti luka Aryan nggak mau pulih."

Serentak itu tawa Pak Aryawan bergema. Tercuit dengan ayat terakhir anaknya. Aryan yang lihat, turut sama ketawa.

"Loh! Kalian kok ketawa? Ada yang lucu?"

"Nggak," balas Pak Aryawan.

"Terus, kalian kok lagi ketawa? Ngapain?"

Kali ini Pak Aryawan tak balas. Hanya wajah Aryan dipandang. Sekali lagi tawa mereka berderai.

"Lihat? Kalian ketawa lagi! Apa yang lucu banget, sih?"

Kedua beranak itu masih enggan jawab. Hanya tawa terus-terusan berderai. Hinggalah Aryan mengaduh sakit. Hujung bibirnya lantas dipegang.

"Nah... kan? Ketawa lagi! Sampai lupa bibirnya itu masih sakit!"

"Maaf, dong."

"Maaf, maaf. Kalau koyak terus tadi, gimana?" tempelak Ibu Dian. Dalam mood marah, masih juga dia periksa bibir anaknya. "Sakit?"

🍂 ReLaKu PuJuK  (Published) 🍂Donde viven las historias. Descúbrelo ahora