Sampai di rumah, gue langsung goler-goler kaki di atas sofa kamar. Liliana dan Ari udah ada di depan bersama Ayah. Liliana benar-benar langsung meluk Ayah begitu selesai salim dan Ayah juga sesenang itu. Liliana itu fans pertama dan terakhir Ayah, nggak ada alasan berarti selain karena Ayah duda dan masih keren dengan nggak mengikat wanita lain untuk menggantikan Ibu.Tapi Ayah nggak kenal Ari. Gue kenal Ari pas kelas tujuh dan saat itu dia kelas sembilan. Kita kenal juga karena dia senior paskibra gue. Tau sendirilah, gimana solidnya anak paskib sampai kita sering mampir ke rumah satu sama lain. Nggak kenal senior-junior.
Paskibra tuh… depannya doang keras, kalo di belakang, nangis juga nangisnya bareng, ketawanya, makannya juga sampai bareng. Karena… gimana ya, kita udah ditempa bareng-bareng, jadi ya… rasa solid itu muncul gitu aja.
Gue yakin aja sih, itu karena rasa senasib dan sepenanggungan.
“Mbak Gilang, dicari Ayah tuh,” muka malas Gion menyembul dari pintu. Gue yang belum mengganti seragam, langsung mengikutinya bertemu Ayah.
Begitu gue sampai, gue udah nggak lagi melihat penampakan Ari dan hanya ada Ayah di sana. Liliana kayaknya di belakang, mungkin makan pudding yang gue taruh di kulkas.
“Ari itu siapa, Lang?” tanya Ayah mulai posesif. Gue geleng-geleng aja dalam hati.
“Kakak kelas pas SMP,” jawab gue tenang. “Emang udah deket dari SMP, tapi konotasinya bukan PDKT.” Harusnya memang bukan. Tapi nyatanya gue merasakan lain kalau sama dia.
“Kok kayaknya kamu nggak senang sama dia? Dia jahat?” Hhhh… Ayah tuh suka mulai deh sok taunya.
“Nggaklah, ngapain. Orang baik kayak begitu.” Gue nggak pernah punya keinginan untuk mendendam. Sama siapa pun itu.
“Ya udah, temenin Ayah makan di luar. Ajak itu Liliana sekalian. Kamu ganti baju sana.”
Setelahnya, gue menuruti keinginan Ayah dengan beranjak pergi. Ponsel gue taruh di atas nakas ketika benda itu berbunyi.
Gue mengangkatnya dan membaca apa yang tertera di sana.
Ari Rakhafajri: I’m sorry, I really have no idea about you’re life. But, while ago, ure father said that he will give you surprz. Jangan kecewain dia.
**
Jam lima sore, kami sampai di tempat makan yang sudah menjadi langganan Ayah. Sebelumnya, kita memang sengaja menunda waktu supaya Mas Gemma ikut makan dan akhirnya dia nyusul selepas pulang kuliah.
Sebelum Ari memohon sama gue buat nggak kecewain Ayah, gue emang nggak ada niat untuk mengabaikan laki-laki paruh baya itu. Please deh, gue emang sebiasa itu sama beliau, tapi gue selalu menjadikannya orang pertama yang harus gue resepekin.
“Bawa laptop nggak Mas? Pinjem dong.” Gue dan Liliana yang duduk sebelahan di lesehan langsung memalak Kakak gue yang satu itu begitu dia duduk di sebelah Ayah.
“Mau ngapain?” tanyanya nyalang.
“Nonton film.”
“Adanya film cowok, Lang….” nggaklah, gue pikir, kelakuan Mas Gemma nggak seliar gue sampai dia berani konsumsi film kayak gitu—tapi gue juga nggak pernah konsumsi film kayak gitu kok.
Nggak pernah sekali, maksudnya.
“Pelit lo!” gue menendang kakinya yang ada di bawah.
“Yehh beneran nih, adanya filmnya Iko Uwais sama Tom Cruise, nggak ada yang ganteng-ganteng.”
“Uh… Peter Parker masa nggak ada…,” gue tetap mengemis. Meskipun Iko Uwais ganteng, dan Opa Tom Cruise luar biasa ganteng juga.
“Oh… nggak ada, ada juga nih, Home Alone tapinya,” kekeh Mas Gemma melihat gue nyaris putus asa. Gue akhirnya mengangguk dan menonton film zaman gue kecil itu. Padahal, pas gue lihat isi foldernya saudara gue itu ada filmnya Maria Belle juga loh. Kenapa dia berat banget pinjemin ke gue sih?
Selanjutnya, gue dan Liliana sudah terhanyut dalam film. Sedangkan Gion dan Mas Gemma sudah larut pada obrolan ringan Ayah.
Kita udah janjian nggak ada yang pegang ponsel sama sekali di meja makan dari zamannya Mas Gerald kenal smartphone. Keluarga gue nggak melarang siapa pun yang berisik di meja makan asalkan itu bukan sejenis konfrontasi, tapi mereka melarang keras adanya ponsel di meja makan.
Tetapi, selama menunggu pesanan jadi, kita udah asik sendiri-sendiri. Maksudnya, gue emang jarang gabung ke obrolan mereka karena emang gue nggak pernah nyambung sama topik mereka, dan mereka memaklumi itu, apalagi kehadiran Liliana yang sangat membantu ini.
“Sorry, aku telat Yah.” Mendengar suara itu, gue langsung mem-pause film, dan obrolan pria tiga generasi berbeda itu juga berhenti.
Siapa saja di meja makan—kecuali Ayah—melongo tidak percaya akan siapa yang sekarang hadir di tengah-tengah kami.
“Mari sini, Ger. Kami nunggu kamu dari tadi.”
Iya. Dia Gerald Jusuf Rahardi.
11/02/'18
(F/N): aku benar-benar minta maaf untuk keterlambatan update yang sangat lama. Tbh, cerita ini sudah kelar dari kapan tau dan tinggal diterbit2kan kapan sj. Tapi aku tuh suka males, kalau nerbitin cerita sementara aku lagi nggak buat cerita apa2. Eh? Ngerti gasih? Yhaa. Pokoknya gtu deh.
Yaudahhh pokoknya happy reading aja.
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.