Past.
Hari ini hari pertama gue masuk sekolah lagi selepas Ibu pergi. Kalian mungkin bisa bilang gue berlebihan, tapi jujur aja, h+7 Ibu nggak ada, gue benar-benar menutup diri dari apapun.
Kekanak-kanakkan memang, padahal di dunia ini yang menderita bukan cuma gue. Tapi kalian pasti sadar, kalau ditinggal pergi orang tua, nggak butuh drama menye-menye pun, udah banyak air mata.
Teman-teman se-SMP-yang kenal dekat dengan gue-kemarin melayat Ibu. Cuma karena gue terlalu fokus dengan Ibu, makanya gue nggak ketemu mereka. Gue tahu dari Mas Gemma.
Ayah nggak dateng, dia bilang, butuh waktu seminggu untuk sampai ke Indonesia, karena saat itu untuk menepi ke daratan pun butuh waktu yang cukup lama buat ke airport. Terserah dialah kalau itu mah.
Pelajaran Sosiologi yang diajar Pak Hakim sama sekali nggak nyangkut di kepala gue. Seberapa keras gue mencoba, tetap aja nggak masuk. Untungnya, Pak Hakim bukan tipe guru yang main asal tunjuk muridnya buat ngerjain soal ke depan, atau apa pun itu.
Sampai akhirnya bel istirahat berbunyi-suara surga yang saat ini gue rindukan-gue keluar kelas untuk makan di kantin. Tadi gue udah ajak Nita, tapi dia bilang dia bawa bekal. Biasanya gue juga demikian; saat Ibu masih sakit, gue yang akan masak untuk gue dan saudara-saudar gue, terkadang juga buat Ibu kalau Ibu bosan dengan masakan rumah sakit. Tapi setelah Ibu pergi, gue jadi ling-lung buat apalagi gue masak? Ibu udah nggak makan lagi, gue juga jarang makan. Kalau saudara-saudara gue, dia udah pada gede-kecuali Gion-ngapain amat gue mikirin mereka banget? Jajan aja.
Akhirnya gue pergi ngantin sama Karen.
"Lang," panggil Karen. Gue menoleh. "Dipanggil Kak Ari, tuh."
Serta-merta gue berhenti di persimpangan kantin. Gue meminta Karen untuk jalan lebih dahulu dan menitip chicken katsu-sama seperti yang mau dia pesan.
"Gimana kabar lo?" Klasik sih. Sedari tadi pun gue mendapat pertanyaan yang sama. "Makin kecil lo!" Iya gue tau, gue makin kucel. Tapi gue tetap diam. Nggak ada mood untuk bicara. "Mau makan apa?"
"Makan katsu," jawab gue singkat.
"Pake nasi nggak?" tanya dia lagi. Terus gue lupa, buat pesan untuk pakai nasi. Dua hari ini perut nggak kena nasi sama sekali padahal. "Lo tuh-"
"Woy, Ari! Mau balik ke kelas nggak lo! kesenian lo belom jadi kan? Buruan!" Rakha dipanggil Soleh, temannya yang gue yakin hafal betul tabiat Rakha. Biasanya teman-teman Rakha yang lihat gue sama dia begini, langsung pada godain. Cuma Soleh kayaknya yang nggak.
"Nyusul!" jawab Rakha sambil memberi senyum, habis itu wajahnya menghadap gue lagi. "Lang, jawab kek. Diem aja lo! gue punya kabar baik buat lo nih."
"Yaudah, buruan ngomong aja sih, Rak, ribet bener mau ngomong doang lo," ucap gue sambil tersenyum. Memang seharian ini gue lempeng banget. Tapi kalau udah diajak ngomong gue bisa ekspresif. Namanya perempuan.
"Coba tebak what did I got?" katanya samba menyeringai sengak. Bête anjirrr gue dengernya. Gue hanya menyipitkan mata. Dia tertawa geli, "Alamat rumah Nita! Uhhh. Hebat kan gue?"
Gue tercengang setengah mati mendengarnya. Lahh... kok gue bisa nggak tahu kalau Rakha makin dekat dengan Nita? Gilaa. Maksudnya tuh yaa. Dia udah sedemikian dekat sama gue, dan Nita juga sahabat gue. Sebuah keanehan aja buat gue kalau Rakha ternyata menyimpan rasa sama Nita.
"Lang? kok lo diem?"
"Hng? Apa?" Gue nambah ling-lung. Memejamkan mata, sambil menggigit bibir bawah, akhirnya dua sudut bibir gue mengembang. "Apasih lo, Rak! Gue kok nggak tau apa-apa? ihhh. Najis lo, anjaaaiiiii. Diem-diem jadi secret admirer-nya Nita."
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.