Pulang sekolah, gue nggak langsung pulang karena kata Lili, dia belum selesai PM. Gue menunggu di depan kelas untuk dijemput Lili karena gue males berdiri lama nungguin di depan sekolah.
Murid-murid sudah pada balik ke rumah, hanya ada beberapa murid yang palingan minta materi tambahan di sekolah. Bagas sudah berpamitan untuk pulang lebih dulu bareng Citra. Meskipun gue nggak begitu paham kenapa dia malah pamit ke gue, toh, akhirnya gue tetep mengiyakan kepamitannya.
Bangku panjang yang gue duduki berderit sedikit ketika gue sedang menonton youtube salah satu channel penyanyi Indonesia. Menoleh, gue dapati Nita.
"Nggak pulang lo?" tanyanya begitu saja.
"Harusnya gue yang nanya gitu, Nit. Ruang PM Geo sama Kimia jauh kale. Eh lu malah nongkrong di sini." Iya. Hari ini adalah PM pelajaran jurusan. Karena untuk UN nanti gue ambil Kimia, dan sekeyakinan gue Nita ngambil Geo—karena gue tahunya dia suka pelajaran itu, jadi kelas kita terpaut jauh.
Biasanya kalau PM Bahasa, kita disatukelasin.
"Lo ngejoki, ya, Lang, sampe kaki lo begini?" Bah! Boro-boro kali ya, gue mikir begitu. Kalau ketahuan Ayah gue megang motor aja dia sudah mencak-mencak.
"Lawak lo!" ketus gue karena harusnya Nita tahu fakta itu dan sekarang dia tengah menyindir gue. "Balik sana! Udah sore juga! Gue masih nungguin Lili di sini!"
"Ntar sih, gue masih nungguin Budi," katanya. Gue mengerutkan kening karena baru kali ini dengar dia menyebut nama Budi.
"Budi temen gue?"
Nita ketawa cantik. "Dia temennya orang banyak kali, Lang."
Menatapnya datar, gue geregetan. "Mau gue bagel pake hape gue nggak? kemaren nih hape gue buat bagel anjing, anjingnya mati."
Nita ketawa lagi dengan suara keras. "Iya deh, iya. Budi temen kelasan lo."
Gue langsung mematung mendengar Nita ngomong segampang itu. Nyaris tiga tahun berteman dengan Budi, gue tahu tabiatnya dengan baik. Dan jujur aja, gue sendiri kesal setengah mati dengan kelakuannya yang 'sakit' kalau sedang pacaran. "Nit, kenapa harus Budi? Budi itu..."
"Manipulatif? Iya, gue tahu. Tapi dia baik, Lang. Nggak mungkin kalau dia jahat, lo betah temenan sama dia bertahun-tahun."
Ya Tuhan, Nit... berapa tahun lo kenal gue, ya? Gue pernah bilang, gue berteman dengan siapa saja, bahkan sampai mengenal karakter mereka dengan baik. Tapi gue tetap berhati-hati sama mereka. Dari kecil, Ibu nggak pernah mengajarkan gue untuk menjadi orang yang judgemental, dan bukan karena Budi seseorang yang 'sakit', gue nggak mau berteman dengan dia.
Sayangnya, orang-orang justru mengira kalau apa yang gue lakukan adalah mewajarkan kejahatan.
"Nit... lo teman gue, gue nggak mau ada apa-apa sama lo." Gue buru-buru menepuki teman gue. "Seenggaknya, kalau diri lo aja nggak cukup lo jadikan alasan untuk jauh dari Budi, inget, udah ada banyak korban yang pernah tersakiti gara-gara dia."
"Tapi dia janji nggak akan melakukan hal yang sama ke gue, Lang. Please. Gue pernah lama pacaran sama Ari, dan gue pikir, kita seyaudah itu. Gue sibuk, dia sibuk. Nggak ada satu pun dari kita yang mengalah soal waktu. Tapi Budi nggak, Budi pengertian sama gue—"
"Nita, astaga!"
"Gilang, lo harus hadapi kenyataan, kalau SMA itu nggak sebersih yang lo pikir. Nggak cuma lo suka sama dia, lo harus tunggu di perpus sambil baca buku Kimia, terus dia jatuh cinta karena lo beda. It's too old school." Okay, sekarang gue justru nggak mengenali Nita itu siapa. Anehnya, beberapa waktu yang lalu, dia bilang hal seperti ini bukan prioritasnya, tetapi, hari ini. Gue lagi-lagi nggak mengenali perempuan yang pernah menjadi kesayangan gue setelah Ibu dan Lili.
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.