Bebek kaleo yang gue makan tadi dan selalu menjadi kesukaan gue, mendadak hambar rasanya begitu sosok itu datang tanpa rasa bersalah di tengah-tengah kami.Membuat gue setengah mati menahan wajah datar dan juga menahan diri untuk nggak menghabisinya di tempat secara langsung. Gue benar-benar nggak peduli dengan percakapannya dan Ayah-atau mungkin juga siapa saja di meja tadi selain gue.
Gue bahkan melengoskan wajah setelah menyaliminya yang gue lakukan dengan setengah hati. Geraldi Jusuf. Kakak sulung gue yang dulu pernah ninggalin gue di waktu umur gue empat belas tahun.
Pukul 23:59, saking nggak masuk-masuknya materi yang sejak tadi gue pelajari, gue akhirnya memilih menyingkirkan kertas-kertas latihan itu dan beranjak ke dapur.
"Lang, mau bikin susu?" Dan, yang gue temukan di pantry adalah sosok yang sedari tadi memenuhi isi kepala gue. Tanpa menjawab, gue hanya mengangguk dan mengambil gelas untuk gue tuangkan susu. "Kenapa nggak tidur? Kan udah malem."
Pertanyaan retorik. Gue cepat-cepat membawa susu tersebut ke dalam kamar sambil memnjawab singkat, "Ada tugas."
"Besok lagi, Lang. Kalau tidur kemaleman besok nggak prod-"
"Shh ah," bantah gue dengan mendesis, "Waktu lo pergi ke Korea, gue juga sering begadang kok buat jagain Gion, nggak usah sok perhatian lah, sekarang."
Nggak. ini bukan kekanakan. Kesalahannya emang nggak bisa dengan mudah gue terima gitu aja. Dia perlu tahu di mana letak kesalahannya dan dia perlu sadar kalau gue semarah itu sama dia.
Mas Gerald bungkam, membuat gue senang setengah mati. Gue udah nggak peduli kalau dia sakit hati atau gimana. "Kenapa lo nggak menetap di sana aja selamanya? Sekalian gue hapus nama lo dari KK."
"Karena aku nggak pernah bisa benar-benar lepas dari kalian."
Perkataannya barusan membuat gue dengan sarkas meniup poni gue. "Whatever."
Gue langsung melesat pergi ke kamar secepat mungkin sambil membawa gelas yang sudah penuh isinya sambil berusaha fokus kembali pada kewajiban gue.
Kenapa semuanya menyerang gue secara bersamaan begini? Gue nggak siap menghadapi semuanya. Besok apalagi?
Ari Rakhafajri: Can I take you to school tomorrow?
Saya: Terserah.
**
Paginya, begitu gue turun dari tangga, aroma takoyaki sudah menyeruak di atas meja makan. Membuat gue mengeluh karena menu sarapan favorit gue-roti dan kopi-digantikan.
Ayah belum bangun jam segini. Dia juga nggak terbiasa sarapan jam enam pagi, jadi di ruang makan yang emang cuma ada gue dan saudara-saudara gue. Gue sengaja nggak bangun pagi buta karena gue yakin Mas Gerald sudah membuatkan sarapan-seperti kebiasaannya dulu.
Nasib baiknya, gue selalu menyimpan kopi yang sudah jadi di dalam kulkas, jadi di meja makan, cuma gue yang menggunakan menu berbeda.
"Mas udah buatin kamu susu cokelat," protesnya membuat gue memutar bola mata.Gue meliriknya sekilas, lalu memakan kembali roti tawar di tangan gue. "Nggak ada yang minta."
"Mbak-" Gion yang hendak protes, bungkam karena gue melotot galak. Tapi dia tetap melanjutkan, "-Mas Gerald udah buatin."
"Ya buat lo aja kalau lo mau," jawab gue asal. Gion selalu dingin sama gue atau sama orang lain kecuali Gerald. Membuat gue serta-merta iri dengan kakak sulung gue karena dia mendapat perlakuan baik tanpa perlu ngurus Gion.
"Tapi kopi nggak baik kalau dikonsumsi sebelum sekolah, nanti sakit perut." Ya elahh... tau apa sih dia soal sakit perut? Gue mens tiap bulan juga udah biasa kali sakit perut.
"Diem deh, ah. Nggak usah seenaknya sok peduli." Gue tersulut emosi-atau sengaja menyulut emosinya? "Gue juga baik-baik aja tanpa lo, Mas. Enak lo ya, dateng-dateng mau ubah ini-itu!"
"Gilang!" Mas Gemma turun tangan. Mungkin dia pusing mendengar keributan pagi ini padahal pekerjaan kuliahnya juga udah pusing.
"Gue berangkat."
Mas Gerald sudah mengejar gue dengan membawa kunci mobil. Gue nggak menyuruhnya berhenti. Biar aja. Gue emang pendendam kok orangnya. Dan gue terima dengan sebutan itu.
Selama dia pergi, gue memang nggak menunjukan kemarahan pada siapa pun itu. Gue terima setiap Mas Gemma menangis di kamar gue karena dia nggak keterima SNMPTN atau saat dia mendapat IP jelek karena kelalaiannya dan kekafirannya dalam bergaul. Gue nggak keberatan meskipun Gion sering berakhir nggak mau makan karena ia rindu Ibu dan gue pula yang harus membujuknya.Gue nggak suka mengasihani diri gue sendiri. Tapi gue juga nggak bisa memafkan dengan mudah orang-orang yang membuat gue merasa harus dikasihani.
"Lang, Mas anter," ucap Mas Gerald nggak berhenti sama sekali, sedangkan gue dari tadi hanya diam karena tangan gue sibuk memesan ojek online sambil berjalan.
"Lo anter Gio aja sana gih, dia sayangnya cuma sama lo. Kasian dari SD nggak pernah dianter sama keluarganya." Nggak bener-bener dari SD juga sih, karena Mas Gerald pergi saat Gion masih kelas tiga-setahun setelah Ibu pergi.
Nyaris aja gue pencet order di aplikasi itu, sebelum sebuah motor memasuki pekarangan rumah.
Uh... gue lupa kalau Ari berniat menjemput gue pagi ini. Gue lantas tersenyum puas begitu dia menyalimi Mas Gerald dan berniat mengantar gue ke sekolah.
14/02/'18
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.