Act 3. Like We Used To Do

4.6K 466 92
                                    

Previous Act :

Tiba di kamar, Farin ada di sana, di atas kasurku. Tersenyum lebar entah untuk apa. 

"Kian, besok aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Seperti janjiku, ini akan sedikit memperbaiki hidupmu. Percayalah padaku ..." kata lelaki yang menghabiskan siangnya untuk wawancara kerja itu.

Kalimatnya yang obscuur itu membuatku bertanya-tanya. Besok? Memperbaiki hidup? Percaya padamu? Permainan apa lagi, ini?

"Kau akan sangat bahagia besok, adikku ..." Bangganya, memeluk kepalaku dengan dua tangannya.

Well, we'll see ...

☽❁☾     

Hari ini warnet tutup. Kijuna kehilangan tempat bernaungnya. Orang itu terpaksa diam di rumahnya, terus diomeli ibunya yang gerah dengan omongan warga sekitar tentang dirinya yang pengangguran. Tapi, apa boleh buat, ayah memaksaku ikut dengan Farin hari ini.

"Kian, sudah lama aku tidak memboncengmu seperti ini. Terakhir waktu kau masih SMA, 'kan?" tanyanya, sedikit menoleh padaku. Menunggu lampu lalu lintas mempersilakannya menancap gas. "Beruntung kau masih sering memanaskan motor ini. Kalau tidak, mesinnya pasti sudah remuk."

"Iya, begitulah." jutekku. Meski bibirku melontarkan suara kesal, jantungku masih berdebaran. Aroma tubuhnya, parfum yang dikenakannya, jaketnya, punggungnya, membuat perasaanku tak menentu. Membuatku makin teringat hari-hari kami, membangkitkan lagi kenangan indah beserta buruknya secara simultan.

"Sebentar lagi sampai, hafalkan rute ini, saat harimu dimulai nanti, kau akan berangkat sendirian." titahnya.

"Kau bahkan tidak memberitahuku ke mana kita akan pergi. Sebenarnya apa yang kau sembunyikan dariku?"

"Nanti, kujelaskan kalau sudah sampai." Lampu hijau. Farin kembali tancap gas, melaju cepat tapi hati-hati. Masih saja tak menjawab pertanyaanku...

☽❁☾        

Mall? Awalnya kupikir Farin hanya ingin menghiburku dengan membawaku ke sini. Mengajak nonton dan melakukan hal basi lainnya. Tapi langkah kakinya tidak menuntunku ke bioskop di lantai paling atas, tidak juga mengajakku ke lantai paling dasar untuk berbelanja. Ia menuntunku ke sebuah kafe dekat area foodcourt. Tidak ada yang spesial dari tempat ini, interior dan lainnya nyaris serupa dengan kafe bernuansa hangat lainnya. Diisi dengan furnitur kayu asli dan dihiasi lampu pijar kuning yang menerangi dengan nyaman.

Seseorang muncul dari dalam pantry, menyambutku dan Farin yang masih berusaha melewati barisan meja bundar menuju meja barrista. "Wah, Farin. Lama tidak bertemu, ya!" semangat pria bercelemek hitam itu.

Mereka bersalaman. "Bapak makin hebat saja, saya pikir tidak jadi buka cabang di Bandung. Ternyata malah sampai buka dua cabang sekaligus."

Pria itu tersenyum lebar. "Jangan begitu, bro. Kalau modalnya tidak kencang, tidak bisa seperti ini. Ya, semoga saja untungnya banyak dan tidak terpaksa gulung tikar seperti cabang di Malang. Yang itu terkendala lokasi, Far ..." Lalu perbincangan seputar lokasi usaha dan ilmu-ilmu marketing berjajaran keluar dari mulut mereka. Membuatku terlupakan, aku bahkan bingung harus bagaimana.

Pria itu tertawa. "Benar, tapi untung saja kemarin design-nya tidak jadi diganti."

Farin ikut tertawa, lalu tawanya surut saat tatapanku bertemu matanya. Ia pun melancarkan maksudnya begitu kembali sadar akanku. "Pak, ini adik saya, Rizkian Fahrentia. Usianya masih 21 tahun, dia lulusan SMA, belum banyak pengalaman di bidang kuliner, tapi saya bisa jamin kalau adik saya ini seorang yang rajin dan bisa bekerja dengan baik."

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang