Act 9. Imperfection

3.2K 355 66
                                    

Previous Act :

"Mobil saya dipinjam Bara." ia menyebut salah seorang kepercayaannya yang tadi siang ditugaskan untuk pergi ke tempat Lula, event coordinator kami. "Sampai sekarang belum kembali juga. Tolong saya, ya. Biar saya yang kendarai. Mana kuncimu?"

Dengan tingkahnya yang begitu cepat, aku tidak dapat kesempatan sedikitpun untuk menolak. Fiza di depanku, menyembunyikan wajah gemasnya padaku. Menyayangkan aku yang hanya terpaku dan diam saat pak Dion menghampiriku dengan uluran tangannya, meminta kunci motorku.

Merogoh saku. "I-ini pak."

Ia merebutnya secepat kilat. Lalu pergi ke pintu pantry. Mengunci pintu itu, kembali padaku dan merangkulku agar cepat meninggalkan lokasi. Fiza nyaris menghentakkan kakinya karena tak rela aku diculik pak Dion.

Aku akan baik-baik saja, Fiz.

☽❁☾    

Seperti janjinya, pak Dion yang mengendarai motor sementara aku duduk di belakang punggungnya. Ia begitu terburu-buru. Menyalip sana-sini dengan agresif. Enggan menghabiskan waktu untuk sekedar mengobrol atau berbasa-basi seperti biasanya. Begitu sampai rumahnya, barulah ia kembali bicara padaku.

"Terimakasih banyak." Ia bergegas menuju pintu hitam rumah minimalisnya, membuka kunci dengan panik. Saat pintu itu terbuka, seekor anjing kecil melompat-lompat dan menggonggong. Pak Dion menggendongnya, memeluk anjing putih kecil itu. "Kian, tunggu sebentar di sana. Jangan kemana-mana."

Aku hanya diam dan duduk di atas motorku, melihatnya bergegas masuk dengan wajah khawatir. Beberapa puluh detik kemudian pak Dion keluar dengan wajah lebih murung lagi. Menggendong peliharaannya yang lain. Seekor kucing yang terkulai lemas di atas kedua tangannya.

"Sudah terlambat." Pak Dion nyaris ambruk, ia mendudukkan dirinya di teras, menyimpan bangkai peliharaannya di lantai teras. Ia menebahi kepalanya, seolah kehilangan hal yang sangat berharga baginya.

Aku tentu tidak mengerti, bahkan nyaris menertawakannya yang sedih hanya karena ditinggal pergi seekor kucing. Aku tahu kucing itu mungkin mahal. Tapi itu kucing, 'kan? Tidak perlu ditangisi. Tapi rupanya kucing itu bukan sekedar kucing bagi pak Dion. Kucing menggemaskan itu adalah temannya, atau mungkin sebagian jiwanya di rumah itu.

Aku berjalan menuju dirinya, berjongkok di depannya, berusaha meringankan suasana. Pak Dion hanya menatap kucing itu sambil melamun, pikirku ia sedang menghidupkan kembali peliharaannya itu di pikirannya. "Pak Dion baik-baik saja?"

"Hei, kalau kita berdua nama saya Dion. Bukan pak Dion." Bahkan dalam keadaan seperti ini pun ia masih sempat-sempatnya sok muda.

"Saya tidak tahu bisa menolong seperti apa. Tapi saya bisa bantu menguburnya kalau perlu."

Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Itu biar saya yang lakukan. Bantu saya bereskan barang-barang Minha. Saya tidak akan mencari penggantinya lagi. Saya tidak mau melihat barang-barangnya ada di rumah."

"Baiklah, pak. Uhm, maksud saya, iya, saya bantu."

"Masuklah." Ia berjalan gontai, menunjukkan isi rumahnya. Mengantarku ke sudut tempat barang-barang kucing kesayangannya pernah tinggal. "Semua di lemari itu, dan kasur tidurnya tolong pindahkan ke gudang belakang. Gudangnya ada di belakang dapur. Kamu bereskan, ya. Saya mau kubur Minha dulu."

Anggukanku mengakhiri perbincangan. Seekor anjing kecil warna putih miliknya tadi mengitari kakiku, mengajakku bermain. Menggonggong riang mencari perhatian. Sayangnya aku sedang tidak ingin bermain dan sudah begitu lelah. Makanya aku hanya fokus pada tugasku untuk memindahkan barang. Sekitar setengah jam kemudian, pak Dion kembali ke dalam. Aku baru selesai memindahkan nyaris semua milik Minha, peliharaannya.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang