Act 15. Just Touchin'

2.9K 309 43
                                    

Previous Act : 

"Kamu tahu kan, ini ulah April?"

"Iya, kamu sudah tadi bilang waktu di mobil..."

Haikal memberiku wajah sedihnya. "Aku ingin memberitahu detilnya, sekarang. Tapi jangan jijik, ya."

"Baiklah. Aku janji ..." Haikal pun mendapat perhatianku, sepenuhnya.

Menarik napas, membuangnya. "Jadi begini..."

  ☽❁☾   

Di malam waktu Farin mengusir April dari rumah, Haikal mendapat panggilan telepon dari April. Tengah malam itu April menelepon berkali-kali hingga Haikal terbangun. April meminta Haikal menjemputnya di rumahku. Sudah tentu, Haikal dengan senang hati menjemput April meski malam itu hujan lebat. 

"Lalu bagaimana?" tanyaku, "Kenapa kamu jadi seperti ini?"

"Iya, jadi setelah menjemput April, aku dan dia bertengkar. Aku marah karena dia lebih perhatian padamu. Aku marah karena dia tidak mengejarku waktu aku keluar dari rumahmu. Ya, pokoknya begitulah.

"Waktu itu April juga marah besar pada kakakmu. Dia mengumpati nama kakakmu terus-terusan. Dia juga mengumpati namamu. Kalau saja kau dengar langsung, kau pasti sakit hati. Aku saja yang mendengarnya merasa tidak enak padamu ..." Haikal membiaskan perasaannya itu di wajahnya. Ia sedikit tertunduk, nyaris menghentikan ceritanya. 

"Tidak apa, aku tak apa dia hina di belakang. Lanjutkan saja ceritamu ..." sabarku. 

Meniupkan udara dari mulut, menenangkan diri. Kembali menghadapku. "Intinya, aku bilang pada April kalau aku sangat menyukainya. Aku bilang kalau perasaanku padanya sulit dipendam. Dia juga sebenarnya sudah tahu tentangku. Aku yakin ini bukan hal baru. Tapi, tetap saja ... begitu mendengarnya langsung dariku dia murka ...

"Dia bilang, Jadi kau mau apa denganku, hah?! dia mengatakannya sambil menjenggut kerah bajuku, nyaris mencekikku. Kau mau seks? Itu kan yang kau mau? Waktu itu aku dengan tololnya mengangguk. 

"Ia menciumku. Kasar sekali. Tidak ada cinta darinya. Nafsupun tidak. Hanya amarah. Aku menyentuhnya lembut, berusaha menenangkannya. Tapi dia beringas! Dia menaikkan kakiku, melebarkan bokongku, meludahinya dengan liur, lalu menusukku begitu saja dengan lima jari tangannya. Itu adalah rasa yang paling sakit yang pernah kurasakan. Suntikan saat sunat juga tidak sakit seperti itu.

"Aku memohon pada April ... Tolong, jangan seperti ini. Ini sakit! Kumohon! Tapi dia tak mendengarku. Dia memaksa masuk semua jemarinya hingga aku benar-benar berdarah. Mau berteriak juga tak mungkin karena waktu itu dia di rumahku. Aku tidak mungkin membuat seisi rumah terbangun dan tahu apa yang kami lakukan. Mau berontak pun aku kesakitan.

"Ah, pokoknya aku hancur sekali malam itu. Aku menangis, meronta, memohon, tapi dia terus dan terus melukaiku sampai aku kehabisan tenaga dan nyaris pingsan.

"Dan ya, seperti yang kau lihat sekarang. April sulit dikontak, tidak masuk kuliah dan anusku luka parah. Kau juga sudah dengar sendiri dari dokter, 'kan?" Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman tipis yang sebenarnya tak perlu. Senyumnya itu tak berhasil menutupi rasa kecewanya. Rasa sakitnya. Aku tahu.

"Haikal, maaf ... bukannya saya menyudutkan kamu. Tapi kamu tahu sendiri kan April itu straight. Menurut saya, kalaupun dia ada main dengan pak Dion, itu murni untuk memanipulasi pak Dion dan mengambil uangnya. Setidaknya itu yang kakak saya ceritakan tentangnya. Setelah melihat kenyataan yang seperti ini, saya rasa apa yang dikatakan kakak saya ada benarnya."Tenangku, memutar kembali apa yang Farin katakan tentang April padaku.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang