Act 40. Half Month

1.3K 152 121
                                    

Previous Act :

Jantungku berdebaran, tubuhku rasanya panas, tanganku menjalar menuju bawah punggungnya, mencabik celananya dengan lemahnya kulit jemariku. April sendiri menyesapi sisi leherku dengan bibirnya. Mengecupnya berkali-kali membuatku melenguh. Begitu aku melerai pelukan kami agar ia lebih leluasa, ia menghentikan aksinya. "Kenapa?" tanyaku yang bingung karena ia berhenti tiba-tiba.

April menggelengkan kepala. "Tidak. Saya cuma belum siap saja kalau sekarang. Kita lakukan lain kali, ya. Malam ini kita lakukan hal lain saja. Saya mau ajari kamu masak hemat, soalnya."

Meski kecele, aku menganggut. Mengiyakan permintaan April yang wajahnya masih sama bahagianya dengan siang tadi. "Sebelumnya, terimakasih."

"Terimakasih untuk apa?"

"Terimakasih sudah membantu saya pindahan, terimakasih juga sudah membuka diri kamu untuk kemungkinan baru antara kita." Aku menunduk, malu-malu mengatakannya.

April mengangkat daguku dengan jari. Wajahnya mendekat lagi. "Sama-sama, Kian." kami berciuman untuk yang kesekian kalinya hari ini.

☽❁☾

Day 2

Pagi pertamanya setelah menginap di kamar kosku.

Saat mataku terbuka, April berada di sebelahku. Dua matanya yang tertutup, terlelap begini membuatnya terlihat jinak. Tidak terlihat lagi paras garang yang sering disalahartikan orang-orang di wajahnya. Ia terlihat rapuh, lemah, seperti sayap kupu-kupu yang mudah patah. Aku menyukainya.

Tanganku membelai wajahnya, jemariku mengusap pipinya yang kurus. Kulitnya yang berminyak, rambutnya yang mulai gondrong tak beraturan, suara napasnya yang nyaris mendengkur membuatku sadar betapa kerasnya April sudah membantuku kemarin. Bahkan setelah malam tiba, April masih sibuk membuatkanku makan malam. Menunya? Telur orak-arik dan nasi goreng kecap.

Pikirku, karena hanya dibekali rice cooker kecil dan teflon usang, aku tidak mungkin bisa memasak dalam kamar. Tapi rupanya April sudah menyiasati hal itu. Karena tidak punya kompor untuk menggunakan teflon, April menggunakan setrika baju sebagai gantinya. Pintar, bukan? Aku sendiri baru tahu jika setrikaan yang disangga tumpukan buku bisa jadi kompor dadakan. Aku sendiri jadi terpikirkan untuk membuat roti bakar dengan bantuan alumunium foil dan setrikaan itu. Yummy!

Begitu kedua matanya terbuka, hal pertama yang dilakukan April adalah tersenyum padaku. "Pagi, Kian." Suara seraknya terdengar becek di telingaku. Tanpa babibu ia mencium pipiku dan menatapku dengan wajah iseng. "Kian ... dengar, deh."

"Dengar apa?"

Ia memberi isyarat tangan agar aku diam. "Ssst ... dengar ..." Lalu, Duuuuut. Dia kentut, fuck.

"Bau woy, bangsat!" Aku mendorongnya agar menjauh. April malah tertawa-tawa melihat reaksiku. Benar-benar menyebalkan.

Day 3

Kalau kemarin aku dan April naik angkutan umum untuk pergi ke kampus masing-masing. Hari ini motor kakakku akan datang ke sini dibawakan Bang Kijun. Hwa... rasanya tidak sabar ingin cepat motor itu di sini, biar aku tidak susah jika ingin membeli bahan makanan di pasar. Setidaknya kalau masak sendiri, jatuhnya lebih hemat dibanding membeli. Bukankah begitu? Dan ya, lagi-lagi tentang penghematan. Dilema anak kos. Apalagi mulut yang harus kuberi makan bertambah satu. Mulut tambahan itu sedang menyetrika baju yang kucuci kemarin sore.

April memutar kepalanya, menoleh pelan-pelan ke arahku. "Kian."

"Uhm?" Sahutku yang sedang asyik membaca buku di atas kasur. "Apa?"

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang