Tiga

83 10 0
                                    

Segala sesuatu yang diperbuat selalu diikuti dengan konsekuensi. Entah itu membahagiakan atau menyakitkan. Fandi selalu memegang prinsip itu. Namun, tidak dengan kali ini. Ia merasa sangat berat melalui hukuman yang diberikan. Sebenarnya bukan hukumannya, tapi dengan siapa ia di hukum.

"Hee bocah, eluh yang nyapu guwe yang nyiram" dibisikkan kalimat itu ke telinga wanita yang tingginya hanya setara dengan bahunya.

Wajah wanita ini berubah. Matanya menyipit, bibirnya sedikit dimayunkan, kedua alisnya terpaut. Wajah yang membuat Fandi ingin melayangkan tangannya mencubit pipi si bocah tengil. "Enak luhh dong tiang listrik! Gak!! Guwe yang nyiram, eluh yang nyapu! Atau eluh semua aja yang ngerjain." Kedua tangan Dera terlipat di depan dadanya dan menghentikan langkahnya.

"Yang sering telat kan eluh, jadi eluh udah biasa kan jadi tukang kebun disini. Jadi eluh aja semua!"

"Hmmmm" sebuah deham terdengar dibalik perdebatan singkat mereka. Bu Ning, berdiri tepat dibelakang mereka.

Sontak kedua bibir saling mengulaskan senyum dan mendadak menggaruk kulit kepala mereka yang tak gatal. Lalu jalan lebih cepat menuju taman di tengah sekolah. Tak berhenti disana, perdebatan kembali muncul. Ketika sapu dan selang berwarna biru tertangkap oleh kedua mata. Empat tangan memperebutkan

"Fandiiii Deraaaa" lekingan seorang wanita mengenakan hijab berwarna hitam menggema di lorong perbatasan antara sekretariat osis dengan ruang musik.

Seketika tangan Dera langsung meraih sapu dan mulai menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Menyatukan rapuhan ranting dan guguran daun menjadi satu kesatuan lalu dengan bantuan cikrak dimasukkannya dalam sampah. Ia ulangi beberapa kali. Penjaga kebun hafal betul dengan Dera, terkadang rasa kasihan kepada Dera pun muncul. Taman sudah dipangkas terlebih dahulu, sedang Dera hanya menyapu saja.

Lain cerita dengan Fandi. Ia berkutat dengan slang biru yang terpasang di keran. Lalu memutar tutupnya. Namun, air tak kunjung mengalir. Diputar-putar kembali tutup keran kemudian kembali memeriksa ujung selang, mungkin saja air tiba-tiba mengalir. Tapi, setetes pun air tidak terlihat di ujung slang. Argggghhh, Fandi menggerutu. Akhirnya ia pun harus bolak-balik kamar mandi, untuk mengambil air dan kembali ke taman untuk disiramkan kepada tanaman-tanaman yang tumbuh subur di taman.

Ke empat kalinya ia bolak-balik kamar mandi, seluruh syaraf di kakinya memberontak linu. Rasa lelah menyelindap di seluruh tubuhnya. Ia pun menghentikan langkahnya dan menyibakkan pantatnya di kursi panjang tengah taman. Matanya menatap kesana-kemari, mencari sosok wanita yang sedari tadi memegang sapu di ujung taman. "Kemana Dera?"

Sapu berbekas tangan Dera sudah berdiri menyangga tubuhnya dengan tembok. Dedaunan yang berserakanpun kini telah tiada. Dera cukup bisa diandalkan untuk membersihkan taman ini. Fandi menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir wanita semanja Dera bisa melakukan kegiatan bersih-bersih.

Fandi pun melangkahkan kaki mengambil tasnya mengeluarkan surat keterangan telat, menutupnya kembali lalu menyampirkan tasnya. Sosiologi siap menjadi sarapannya pagi ini.

Separuh AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang