Update!
**
Ardi itu tidak punya muka, benar-benar muka tembok. Terlalu berani dan sedikit gila, tidak, mungkin memang sudah gila. Mereka tidak tahu bagaimana cara pikir cowok satu itu. Dulu, Ardi tidak seperti ini. Cowok itu terkenal dengan pribadi pendiam dan masa bodoh terhadap sekitarnya. Bahkan ketika ada adik kelas yang mengungkapkan perasaan kepadanya, Ardi menolak dengan cara halus sampai membuat yang ditolak tidak bisa membencinya.
Ardi memang nakal, tapi nakalnya bukan tanpa alasan. Meski apa pun alasannya tetap salah. Ardi hanya melampiaskan rasa sedih dan sepinya kepada hal-hal yang mungkin tidak berguna dan membahayakan dirinya sendiri.
Beberapa tahun setelah Ibunya meninggal karena Kanker. Ardi mulai uring-uringan. Apa lagi ketika sang Ayah juga tidak bisa memerhatikannya. Ayah Ardi bekerja di bidang politik. Di mana pria paruh baya itu tidak akan selalu ada di rumahnya. Sekalipun ada, hubungan mereka tidak begitu dekat.
Ardi anak broken home. Sama seperti Adam dan Juna. Bedanya, Adam masih diperhatikan oleh Mamanya. Juna sendiri masih bisa merasakan sedikit perhatian kedua orang tuanya. Sementara Ardi? Tidak ada! Hanya uang yang diberikan oleh Ayahnya.
Mungkin, bagi banyak orang dengan uang saja sudah cukup. Tapi bagi Ardi, dia sudah cukup muak dengan uang. Awalnya, Ardi pikir dengan uang dia bisa melakukan apa saja yang dia suka. Tentu saja, bahkan tidak ada yang melarang Ardi sekalipun dia melakukan hal buruk. Tapi, lambat laun itu terasa membosankan. Ardi rindu perhatian lembut dari Ibunya.
"Mau apa lagi sekarang?" tanya cewek bongsor yang sekarang sedang menggeram menahan marah.
Cowok yang membuat kemarahaan itu terkekeh tidak berdosa. Ardi menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Tanpa tahu malu, dia bertanya. "Gue boleh ikut gabung?"
Amora, Dinda, Caca dan Budi yang kebetulan sedang satu meja bersama Eka hanya bisa melongo. Mereka sedang ada di Kantin sekarang, menikmati semangkuk Bakso setelah berolahraga tadi. Mengabaikan lemak yang sudah terbakar akan kembali lagi.
Tidak, bukan itu masalahnya sekarang. Tapi Ardi. Astaga, berani sekali cowok itu duduk manis disamping Eka tanpa mau menunggu jawaban cewek itu. Apa lagi dengan masalah yang sudah dilakukannya tadi pagi. Bahkan Adam dan Juna saja tidak berani mendekat mereka karena tahu kekasih mereka sedang marah.
"Lepas," Eka menepis tangan Ardi yang merangkul bahunya tidak tahu diri.
Ardi cemberut, mengusap tangannya yang berdenyut nyeri akibat ulah Eka. Mereka yang melihat itu tahu jika Ardi sedang tidak berakting. Tepisan Eka benar-benar tampak kuat sekali. Mereka meringis melihatnya, sayangnya si Korban malah cengengesan.
nggak waras! Mungkin itu kata yang sedang membatin di hati orang-orang yang melihat Ardi sekarang.
"Ngapain lo!?" teriak Eka, membelalak melihat tingkah laku Ardi. Cowok itu bukan pergi, malah mengambil Jus milik Eka lalu meneguknya.
Ardi menghela napas lega setelah minuman itu berhasil membasahi kerongkongannya. "Gue haus, Beb."
Eka menggertakan giginya, memejamkan mata menahan amarah. menarik napas berat, Eka mengambil gelas plastik di tangan Ardi. "Kalau haus ya minum!"
"Barusan gue minum,"
"Ini punya gue kampret! Beli minum sendiri!" ujar Eka, kesal.
Dan Ardi benar-benar tidak peka dengan kemarahan Eka. "Tanggunglah Beb, kalau pesen lagi kelamaan. Keburu tenggorokan gue kering."
"Terus? Gue peduli?"
"Lo nggak peduli? Lo harus peduli sama pacar sendiri, Beb. Jangan marah, anggap aja itu indirect kiss" balas Ardi, enteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bucin!
Teen FictionBukan Bucin, cuma terlalu suka. Yang membuatnya tampak bodoh di depan banyak orang. "Gue rela jadi bucin, asal lo mau jadi pacar gue!" Benci itu memang beda tipis dari kata Cinta. Terkadang, setumpuk rasa benci bisa berubah menjadi cinta yang sangat...