PAGI Ini kelas XI IPA 7 terlihat serius, memerhatikan sang wali kelas yang tengah menyampaikan sesuatu di depan sana. Tidak ada yang sok sibuk, mereka terlihat serius memerhatikan Bu Dian berbicara."Dua minggu lagi kita akan melakukan UAS, Ibu harap kalian belajar dengan baik. Meski kalian duduk di kelas yang sering kali menjadi bahan olokan anak-anak lain, Ibu harap kalian semua belajar serius untuk masalah ini." ucap Bu Dian, penuh harap.
Mereka semua diam, mengangguk-angguki kepala mereka paham.
"Ibu gak pernah menyesal sudah menjadi wali kelas kalian. Kenaikkan kelas nanti, kalian mau kasih Ibu hadiah? Gak muluk-muluk, Ibu cuma mau kalian semua naik kelas, bisa?" tanya Bu Dian.
Mereka langsung menyauti pertanyaan Bu Dian "Bisa Bu!" seru mereka kompak.
"Siap untuk melakukan UAS nanti?" tanya Bu Dian lagi.
"Siap Bu!" teriak mereka kompak.
Bu Dian tersenyum melihat kekompakan anak didiknya. Wanita itu cukup senang melihat perubahan terakhir kelas XI IPA7 itu. Ia bersyukur, setelah kejadian di mana bentrok dengan sekolah lain tempo hari. Kelas XI IPA7 tidak lagi melakukan ulah yang tidak-tidak, tidak ada lagi catatan merah di BK yang menuliskan nama murid dari kelasnya.
"Bagus! Ibu suka semangat kalian, buktikkan kalo kalian bukan sampah. Kalian harus bisa buat orang lain buka mata tentang sudut pandang kelas yang di anggap sebagai anak pembuangan ini."
Bu Dian kembali menyemangati mereka.
"Kalo bisa, kalian naik dengan nilai tinggi. Biar semua orang tahu. Kalian hanya nakal dalam hal bermain, bukan dalam pelajaran." lanjutnya.
Mereka semua diam, mendapatkan nilai tinggi? Tentu saja itu terlalu sulit. Mereka bisa masuk ke kelas XI IPA7 juga karena hitungan rank terakhir, alias nilai mereka sangat buruk dari pada murid lainnya.
"Kalian gak sanggup ya?" tanya Bu Dian.
Bukan karena Bu Dian memaksa atau menginginkan nilai itu. Hanya saja wanita itu cukup tersindir dengan beberapa oknum guru yang menyindir murid kelas yang ia didik.
"Guru sama murid gak ada bedanya, aku yakin kelas didikan Bu Dian gak akan naik rank lagi." sidir seorang guru wanita berkaca mata.
"Gimana mau naik rank, di pelajaran aku saja kerjaan mereka tidur terus." cibir pria yang asyik memakan gorengannya.
"Ah? Bukan cuma pelajaran kamu. Pelajaran aku juga mereka bikin males. Setiap aku tanya siapa yang gak ngerti, gak ada satu pun yang angkat tangan. Mereka seolah sok pintar, beda dengan kesal unggulan yang selalu ramai dengan pertanyaan, padahal mereka sudah pintar." lanjut guru lainnya.
Beberapa guru mengangguk, menyetujui ucapan guru tadi "Lagian, gimana gak bikin males. Kelakuannya aja bar-bar, selalu bikin ulah. Gak jauh berbeda sama wali kelasnya."
"Heh! Jangan keras-keras, dia ada di sini." bisik oknum guru lainnya, berbisik sambil melirik ke arah meja guru di sudut tembok, terlihat Bu Dian diam di sana.
Bu Dian berdecih dalam hati, telinganya masih normal untuk mendengar mereka yang terus saja memaki anak didiknya.
"Kamu gak usah dengerin mereka ya, Dian." Bu Aisyah, satu-satunya guru yang selalu menukungnya menyemangati Bu Dian.
Bu Dian tersenyum, lalu mengangguk "Gak apa-apa kok Bu, saya paham."
Bu Aisyah ikut tersenyum, mendesah iba melihat posisi Bu Dian yang selalu di sudutkan oleh oknum guru lainnya.
"Kami sanggup kok Bu." suara seseorang berhasil membuat Bu Dian mengerjap, pikirannya yang bercabang buyar begitu saja.
Eka yang mengatakan itu, cewek bongsor itu berbicara dengan nada cukup tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinderella (Sudah Ada Di Toko Buku)
Teen FictionProject #Remaja | "Gue gak terima penolakan! Mulai sekarang lo jadi pacar gue." Ini bukan kisah Cinderella yang kehilangan sepatu kaca, di mana sang pangeran akan menjemput sang putri, untuk memberikan sebelah sepatunya yang tertinggal di pesta dans...