Cinta Monyet(1)

3.5K 179 9
                                    

"Nggak usah pura-pura lupa. Cewek yang mulai duluan pun juga tak apa. Daripada orang yang dicintai diambil orang, ya kan? Daripada diambil Mala?" serangku lagi. Dia menatapku tajam. Bibirnya bergerak-gerak menahan gemas.

"Pura-pura lupa dalam hal apa ini ya?" tanyanya sambil memelototi HP.

"Kejadian di perpus itu sudah lupa? Pas cekcok dengan Mala?" paparku. Dia kini yang gantian berpikir, terjebak oleh kata-kataku.

Ia tampak mengingat-ingat cerita yang aku ungkapkan barusan. Aku tersenyum merayakan kemenangan. Dia kemudian menatapku sambil menutup muka dengan telapak tangannya. Bibirnya mengurai senyum sebal.

Dia kemudian berkata-kata lagi.
"Mas juga memang sudah suka kan sama Fiya? Cuman gak berani bilang, ya kan? Apa pantas disebut kesatria kalau lelaki harus nunggu sang puteri ngungkapin perasaan?" tanyanya menyentakku.

Kami kemudian terkial bersama. Matanya yang bening mengerjab-ngerjab indah.
Kejadian di perpus itu lantas hadir di pelupuk mata. Ah, waktu telah lama berlalu.

* * *

Semua mata tertuju pada guru berambut putih itu. Kami seolah tersihir oleh kata-katanya.

"Jepang mulai mengalami kesulitan, terutama setelah Amerika serikat menarik sebagian pasukannya dari Eropa. Pada bulan Mei 1945, serangan Jepang terhadap Australia dapat dihentikan karena tentara Jepang menderita kekalahan dalam pertempuran Laut Koral. Serangan Jepang terhadap Hawaii juga dapat digagalkan oleh tentara Amerika Serikat dalam pertempuran di Midway pada bulan Juni 1945. Itulah awal segala petaka bagai negara yang mengaku saudara tua Indonesia itu. Kecamuk perang dunia jilid dua mulai surut. Lumpuhnya Jepang dipertegas oleh Amerika Serikat dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hirosima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus di tahun yang sama. Akhirnya Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Negara-negara di dunia yang terlibat dalam perang itu mulai merasa pahitnya kekalahan perang, dan ternyata menang pun juga terasa getir. Kalah jadi abu menang jadi arang. Benarlah kata pepatah itu. Ribuan manusia kehilangan suami. Ribuan manusia kehilangan orang tua, anak, serta orang-orang yang dicintai."

"Kekalahan jepang itu akhirnya berbuntut pada kemerdekaan negara kita. Indonesia tercinta. Proklamasi kemerdekaan itu membebaskan sesak yang bertahun-tahun diderita bumi pertiwi. Juga nenek moyang kita. Mbah-mbah kita. Nama Soekarno-Hatta dielu-elukan sebagai pahlawan proklamator oleh rakyat, bahkan hingga kini. Jalan Pegangsaan Timur No: 56 menjadi saksi lahirnya negara Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang mengiringinya pun menjadi catatan abadi dalam buku-buku sejarah. Peristiwa Rengasdengklok, pertentangan golongan tua dan golongan muda. Sibuknya anggota PPKI dan masih banyak lagi peristiwa lain yang tersimpan dalam bingkai sejarah kelahiran negeri ini."

Begitulah sejarah berkisah.

Pak Imam dengan begitu semangat menceritakan detik-detik lahirnya Indonesia. Perhatian kami dibawa ke era tahun 45-an. Ketika pelajaran telah selesai, Guru sejarah itu memberi kami tugas untuk merangkum peristiwa detik-detik proklamasi. Karena itulah aku mengiyakan ajakan Amir untuk tetap di perpus mengerjakan tugas. Dia menjadi anggota kelompokku, bertiga dengan Mala.

Beberapa menit berikutnya kulihat banyak siswa yang berdatangan ke perpustakaan. Kuamati mereka satu per-satu. Mala datang membawa setumpuk buku sejarah. Amir begitu juga. Mereka mengambil duduk di depanku sambil meletakkan buku. Aku terbengong melihat banyaknya buku yang mereka bawa.

Ketika mereka sibuk mencari buku tadi aku sedang menyibukkan diri melihat para pengunjung perpustakaan.

''Ayo mulai ngrangkum Lik,'' suara Mala pelan mengajakku memulai tugas. Tangannya berada di atas tumpukan buku. Matanya tersenyum padaku.

''Dibuka dulu dong bukunya,'' aku menyahut.

''La, ayo dibuka dulu bukunya!'' ulangku lagi. Aku mulai sebal karena Mala masih menindih buku-buku sejarah itu dengan kedua tangannya.

''Lho bukaen , ambil saja buku yang kamu inginkan,'' kata dia. Mala menyuruhku mengambil buku yang ditindih tangannya, tapi dia tidak mau melepaskannya ketika hendak kuambil.

"Liik," ucap Mala manja.
Aku meraih buku di depan Amir tanpa menyahut panggilan Mala. Akhirnya buku itu dia buka. Raut mukanya cemberut. Aku tertawa dalam hati.

"Materinya ada di bukumu La?" tanyaku. Dia melengos. Pura-pura menanyakan sesuatu pada Amir. Pertanyaanku tidak digubrisnya.

Matanya melirikku sebentar. Amir kemudian sibuk membaca buku lagi. Mala menulis rangkuman yang dibacakan Amir. Aku iseng membuka novel yang dibawa Mala. Merasa jenuh, novel itu kugeletakkan begitu saja.

''Mir, tugasku apa?'' tanyaku kemudian. Amir yang masih sibuk membaca menolehku tanpa memberi jawaban.

Justru Mala yang kemudian menyahut pertanyaanku.

''Sudahlah, kamu duduk manis saja di situ Lik. Jagain kami yang lagi kerja yah?'' Mala, gadis yang juga anak pesantren kusus putri di kota Malang itu kemudian terkekeh menampakkan deretaan gigi rapinya. Pikiranku mulai dipelintir emosi.

''Enak saja duduk manis. Semua harus kerja. Kamu merangkum yang bagian ini. Bagian tentang pergulatan kaum muda dan kaum tua. Aku selesaikan tentang Rengasdengklok. Kamu baca-baca dulu aja sekarang,'' nada perintah Amir tegas. Ia sibuk membaca lagi. Sedangkan Mala semakin cekikikan. Ia menutupi senyum mengejeknya dengan telapak tangan.

Aku mulai sibuk membaca, menyiapkan rangkuman yang akan aku bacakan pada Mala. Kuacuhkan suasana ruang perpus yang mulai ramai oleh para siswa. Ada belasan meja baca di ruangan itu, hampir semuanya sudah terisi siswa berseragam putih biru. Suara kipas angin yang menoleh ke kanan dan ke kiri berdesis menyebarkan kesejukan. Suasana yang nyaman membuat kami betah di gedung pusat buku-buku itu. Sesekali udara sejuk masuk dari luar lewat pintu yang terbuka. Belaian angin lembut itu menambah kesejukan ruang baca. Gedung yang menghadap ke taman itu memang relatif punya cadangan udara sejuk melebihi gedung-gedung lain di sekolah kami.

Aku acuh saja ketika mendengar suara deheman di sampingku. Sepertinya suara orang di meja sebelah. Ruangan itu memang semakin ramai. Para siswa berdatangan. Aku harus memusatkan konsentrasi untuk merangkum kisah panjang sejarah kemerdekaan. Namun tiba-tiba konsentrasiku kacau. Seorang gadis menarik buku yang kubaca. Rasa kaget menyengat emosiku dalam sekejap. Amarahku membuncah. Dan gadis itu malah cekikikan menahan tawa. Akan tetapi kemarahanku begitu saja sirna ketika kedua mataku melihat siapa gadis itu. Dia adalah Fiya. Ning Alfiyah An Ni'mah.

Bukannya amarah, rasa senang justru merayap di kedalaman hatiku secara tiba-tiba.

🤸🤸🤸

Bersambung

Silahkan komen🙇

Romantika Alfiyah Ibnu MalikWhere stories live. Discover now