Senandung Sedih Seorang Pemulung(2)

1.7K 102 0
                                    

''Tahu lah. Mas saja sampek senyum-senyum sendiri menyebut namanya. Pasti karena dia cantik,'' Aisyah menggodaku.

''Iya Is. Dia memang cantik sekali, secantik Aisyah adek Mas ini.'' Pipi Aisyah bersemu merah mendapat pujianku.

''Waah ... baru kali ini Mas memujiku cantik. Pasti ada maunya nih??''

''Yo wes, Aisyah jelek."

"Kan? Mas gitu." Aku tertawa melihat muka Aisyah yang tiba-tiba cemberut.

"Kenapa tertawa?'' tanyanya dengan wajah menantang.

"Cemberut aja terus Is. Biar makin cantik hahaha." aku semakin terbahak menatap muka marahnya yang konyol. Dia lalu diam. Mukanya masih cemberut.

''Ini pasti ada maunya. Pasti dalam rangka menggalang massa cari dukungan.''

''Dukungan? Maksude?''

''Yaa ... kan kalau sudah dapat dukungan dari saudara nanti tinggal matur pada umi. Langkah selanjutnya minta dilamarkan.. twengg...twengg..'' gurauan Aisyah membuat wajahku terasa menebal. Aku jewer pipi Aisyah. Dia menghindar sambil tertawa.

''Umiii ... Mas curang! Kalau kalah ngomong beraninya main jewer!!'' Ledek adikku satu-satunya itu, membuatku semakin gemes.

''Siapa juga yang minta dukungan? Dia sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Dukunganmu tak kan ada artinya Nduk.''

Bayangan itu tiba-tiba menyelinap. Dan rasa sedih ini kembali datang. Beginikah rasanya patah hati? Aku tidak boleh terlarut dalam perasaan ini. Seharusnya aku konsentrasi pada ujian yang tinggal sebentar lagi seperti yang aku ikrarkan setelah abah wafat beberapa tahun yang lalu. Tapi apakah semudah itu memangkas cinta yang telah subur tertanam? Cinta bukanlah tas yang bisa dengan mudah dimasukkan dan dikeluarkan dari laci. Cinta itu tumbuh mengakar dalam jiwa. Dia mengalir dalam aliran darah. Dia ada dalam setiap helaan nafas. Menenggelamkan rasa cinta saat dia tumbuh subur jelas merupakan hal yang sulit. Bahkan mencabut paku yang tertancap dalam telapak kaki akan terasa jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan mencabut perasaan cinta dari hati yang telah mengakar kuat.

''Sekarang nggak usah berpikiran yang macem-macem. Belajar saja yang serius. Masih sekolah kok mikirin jodoh. Jodoh itu kalau sudah saatnya juga pasti datang. Kalau memang belum waktunya, semua usaha tak akan menghasilkan apa-apa. Dicari nggak akan ketemu, dikejar tak akan terkejar. Tapi kalau hanya diam juga tak akan datang. Yang bener itu do'a sama Allah. Minta sama yang Maha Punya,'' ucapan umi menohok perasaanku. Mungkin umi dapat membaca raut mukaku yang murung.

''Pentingkan akhiratnya. Dunia ini tidak ada apa-apanya. Makanya jangan sampai cinta dunia. Kalau kamu pilih ahirat maka dunianya akan ngikut juga, tapi jika pilih dunia maka akhirat tidak akan kau dapat. Ibaratnya dunia itu adalah rumput liar di sawah, sedangkan akhirat adalah padinya. Kalau kau menanam padi maka rumputnya akan ikut tumbuh, sedangkan jika menanam rumput maka padi tidak mungkin akan tumbuh.''

Umi akhirnya menyudahi nasehat panjang itu. Kebanyakan aku hanya diam. Kadangkala menyahut satu dua kata. Aisyah berlari ke sana-ke mari, kemudian diajak seorang ibu-ibu dari pegawai kecamatan itu untuk membeli oleh-oleh. Gadis kecil itu senang bukan kepalang. Walaupun Aisyah cuma juara harapan nyatanya guru-gurunya nampak bangga. Tak berapa lama kemudian Aisyah datang menenteng kresek yang entah berisi apa. Wajahnya cerah sekali. Seulas senyum menghiasi bibirnya.

''Kamu dibelikan apa aja Is?'' tanyaku penasaran. Ibu-ibu yang mengantar Aisyah tadi sudah terlihat bersiap-siap akan pulang. Mereka sebagian sudah ada yang menunggu di mobil. Namun mereka mengerti bahwa kami masih ngobrol melepas kangen.

''Banyak Mas. Ada banyak jajan. Aku juga dibelikan baju lho Mas. Ini lihat, bagus banget. Baju jahitan umi saja kalah,'' Aisyah bicara sambil nyengir melirik umi. Umi tersenyum melihat bungsunya itu sedang bahagia.

''Ada nggak yang buat Mas?'' aku tanya dengan maksud bergurau.

''Ada dong. Mas ambil roti ini saja. Mas lagi lapar to?'' gadis itu mengambil beberapa bungkus jajan. Tangan kecilnya cekatan mengeluarkan jajan dari dalam kresek.

''Andai saja abah masih ada ya Mas. Pasti hari ini akan seru sekali.''
Kami terdiam. Ucapan Aisyah itu mengingatkanku pada abah. Membungkam mulut kami yang sedang tersungging senyum. Sudah lebih dua tahun kami berpisah. Aisyah juga tampak sedih. Umi kemudian memintanya untuk sering-sering mendoakan abah. Kemudian satu-satunya orang tua kami itu menasehati kami untuk rajin belajar dan beribadah agar arwah abah senang di alam kubur sana.

Suara hembusan angin menemani suasana yang lengang. Senyap yang pengap. Di sebelah sana beberapa orang yang bercanda mulai beringsut pergi. Dan suasana sepi ini akhirnya mengantarkan pada perpisahan kami. Mengantarkanku pulang ke pondok. Mengantarkan umi dan Aisyah pergi dibawa mobil carteran sekolahnya menuju kampung halaman. Tas gendongku yang berisikan kitab Ihya 'ulumuddin itu aku ciumi. Mungkin kitab ini yang akan mengobati rasa sepi yang mendera hatiku. Bayangan ketenangan kehidupan pesantren menyejukkan hatiku. Kehidupan penuh sahaja dalam pesantren itu sedikit-demi sedikit melarutkan kesedihanku. Membuat kakiku kembali bertenaga untuk terus mengayuh sepeda pancalku. Aku ingin segera sampai di pesantren. Aku ingin merebahkan lelah tubuhku di sana. Namun bayangan wajah ayu Ning Fiya menari-nari di pelupuk mataku. Senyum indahnya tadi pagi tak akan pernah aku lupa. Mengingat senyum indahnya membuatku tersenyum. Senyum yang meretas dalam tangis.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikWhere stories live. Discover now