Rasa

73 2 6
                                    

Jujur, dari awal aku hanya menganggapmu temanku.

Tidak lebih.

Hanya sebatas orang yang aku tanya-tanya soal tugas sekolah.

Tidak lebih.

Bahkan, aku tidak berani bertanya banyak.

Kenapa? Karena kamu sangat dingin kepadaku, atau ke semua orang? Entahlah. Entah kamu bersikap dingin karena kamu kesal atau apa. Aku tidak tahu.

Hingga akhirnya kamu menjelaskan bahwa kamu bukan bermaksud untuk bersikap dingin kepadaku atau orang lain. Kamu hanya bingung harus menjawab apa.

Aku merasa bersalah.

Merasa bersalah karena selama ini kesal atas sikapmu, merasa bersalah karena aku cerita ke beberapa temanku bahwa kamu itu nyebelin.

Aku memang salah. Harusnya aku tidak menilai orang sebelum aku mengenalnya dengan baik.

Aku pun meminta maaf, dan berusaha membuatnya bersikap lebih baik.

Lambat laun, sikapnya mulai berubah. Dia mulai menyapaku duluan lewat chat.

Awalnya tentu aku kaget. Biasanya aku yang menyapanya duluan lewat chat, dan biasanya dia yang mengakhiri percakapan kami lewat tulisan read.

Obrolan kali ini bukan dilanjutkan dengan topik pr, tugas, atau hal lain yang berbau sekolah.

Kenyataan bahwa dia menyapaku karena bosan membuatku berpikir 'ini anak kenapa yak?'

Membuatku bertanya-tanya 'ini anak kesambet apa dah?'

Serta membuatku cemas, 'kalau ternyata ini anak nyaman sama gue gimana?'

Jujur, aku sempat kapok dengan kejadian waktu itu.

Waktu itu aku terbawa perasaan saat dekat dengan seorang cowok, padahal ia hanya chat tentang beberapa hal. Tidak lebih.

Kenyataan bahwa dia juga chat dengan teman dekatku membuatku sedikit 'trauma' dengan perasaan sensitif seperti 'suka'.

Aku takut aku terbawa perasaan saat chat dengan teman 'baru' ini.

Aku takut lambat laun semuanya berubah.

Aku takut kalau dia ternyata menaruh perasaannya pada teman dekatku.

Tapi aku lebih takut kalau dia ternyata menaruh perasaannya padaku.

Karena kalau sampai dia 'menembak' atau menyatakan perasaannya, aku takut semuanya menjadi canggung.

Aku takut semuanya berubah.

Aku takut tidak bisa memilih.

"Pencipta atau Ciptaannya?"

Perkataan sahabatku itu yang sempat terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku semakin bingung dengan semua pola ini.

Akan dibawa kemana chat ini?

Dan, akan dibawa kemana perasaan ini?

Curhatan RemajaWhere stories live. Discover now