Bab 5: Pikirkan Baik-Baik

2.5K 323 40
                                    

Dua minggu yang lalu ....

Abraham mengeluarkan kunci dari dalam saku celana, lalu membuka pintu rumah. Ditekannya saklar lampu. Teras rumah yang semula gelap gulita pun seketika menjadi terang benderang.

“Ayah udah pulang?” Arini, putri semata wayangnya, menyambut dari dapur.

Abraham menyahut “Iya”, lalu membanting diri di atas sofa hingga muncul suara derak aneh. Payah, batinnya kesal. Sofa kulit di ruang tamunya sudah tua. Usianya barangkali sepantar dengan umur anjing peliharaan tetangga sebelah. Enam tahun. Sudah waktunya diganti.

Abraham menatap seisi ruang tamu. Lemari kayu di sudut ruangan juga telah menunjukkan tanda-tanda keropos yang semakin parah. Tampaknya Abraham memang harus segera membongkar tabungan untuk membeli perabotan baru. Mungkin, sekalian mengubah tampilan rumah. Belakangan hari-hari yang dia lalui terasa begitu melelahkan, ada banyak sekali berkas kasus yang harus dia periksa. Menumpuk di atas meja kerja dan semua itu seolah tidak ada habisnya. Dia butuh suasana baru. Sesuatu yang dapat membuatnya menjadi lebih segar ketika dia pulang ke rumah.

Arini pernah berkata, warna krem membuat tampilan dinding rumah mereka menjadi kusam dan tidak menarik. Abraham sedang mempertimbangkan saran dari Arini. Putrinya itu sangat suka dengan warna-warna yang cerah. Dan kali ini, sepertinya Abraham akan membiarkan Arini memilih warna yang bagus untuk rumah mereka supaya terlihat lebih menarik.

Abraham juga berencana menambah sebuah kamar yang terhubunng ke ruang keluarga. Kamar itu nantinya akan dia isi dengan buku-buku. Sejak dulu Abraham mengimpikan sebuah perpustakaan kecil di rumahnya. Perpustakaan yang nyaman dilengkapi dengan sofa empuk di sudut ruangan. Pada bagian dindingnya akan dia pajang banyak foto dengan tema hitam-putih. Foto-foto dirinya bersama Arini. Kemudian, benda-benda klasik koleksinya akan dia susun dalam rak tanam. Abraham yakin, semua itu bisa membuatnya betah berlama-lama berada di perpustakaan.

Wangi masakan tercium dari dapur. Abraham bangkit dari duduknya, berjalan ke dapur untuk menemukan Arini yang tengah sibuk mengaduk sesuatu dalam panci. Pantry terlihat sedikit berantakan oleh sampah sisa sayur-mayur yang telah selesai disiangi. Melihat Arini yang kewalahan, Abraham berinisiatif mengulurkan tangan. Dia membereskan pantry, kemudian membuang sampah tersebut ke dalam trash bag di bawah bak cuci piring.

“Menu makan malam hari ini, sop udang!” ujar Arini penuh antusias. Dia mengambil irisan daun bawang di atas talenan, lalu menaburkannya ke dalam panci.

Abraham tersenyum lebar.

“Wah, pantesan baunya harum begitu,” pujinya tulus.

Usai mencuci tangan, dia mengambil air dari kulkas, lalu menuangnya ke dalam gelas. Dia duduk di meja makan setelah meneguknya sampai habis. Di atas meja, dilihatnya aneka gorengan telah tersaji dalam piring. Diam-diam Abraham mengambil kesempatan untuk mencicipi satu.

Arini menoleh cepat, berhasil memergoki ayahnya. “Ih, Ayah! Mandi dulu baru makan,” protesnya kemudian. Arini berusaha menjauhkan piring gorengan dari sang Ayah, tetapi Abraham bergerak lebih cepat. Digesernya piring itu hingga Arini tidak bisa lagi menjangkaunya.

“Mandinya nanti ajalah. Ayah udah laper ini. Dari siang belom makan. Lihat, perut Ayah kempes begini.”

Arini tergelak saat melihat Abraham mengelus-elus perutnya sendiri. “Kempes apanya, Yah. Masih buncit gitu, kok!” ejeknya.

Arini mematikan kompor, menuang sop ke dalam mangkok, lalu duduk di depan Abraham. Mereka makan bersama dalam khitmad. Abraham memuji masakan Arini yang semakin hari dirasanya semakin enak saja.

Acara makan malam itu sesekali diselingi oleh canda dan tawa. Arini menceritakan kesehariannya di sekolah, sementara Abraham mendengarkan dan menanggapi dengan serius saat Arini membawa-bawa nama teman lelaki yang suka menganggunya di kelas ke dalam cerita. Berulang kali Arini mencuri pandang kepadanya. Abraham yang menyadari itu pun langsung bertanya.

CIRCLE [Revisi]Where stories live. Discover now