Bab 7: Menelusuri Jejak

2.3K 292 22
                                    

Pukul sembilan malam. Wilayah di permukiman itu telah ditempati sunyi. Sunyi yang ganjil. Sebab, tidak tampak siapapun, baik orang tua maupun kawula muda, berkumpul di warung atau kedai kopi pinggir jalan—laiknya pemandangan biasa yang terlihat di desa-desa. Suara air mengalir terdengar cukup dekat. Tak jauh dari sana, dari lokasi pemberhentian mobil para anggota polisi, terdapat sungai yang airnya cukup jernih. Jembatan beton menjadi penghubung—sebagai akses menuju desa seberang—dengan pencahayaan minim, lantaran sorot lampu jalan tidak mencakup seluruh titik di tempat itu.

Begitu menginjakkan kaki keluar dari dalam mobil, para anggota polisi sigap berlari mengambil posisi masing-masing. Kendra memeriksa revolver dalam sabuk sekali lagi. Dia siap. Semua telah siap dengan rompi anti peluru yang melindungi tubuh. Bersama Kris, dia berjaga di titik 3. Sementara Wirya, Safferizal, dan petugas lainnya mendapat posisi lebih dekat dengan rumah tersangka.

Di depan tiang listrik, Wirya tengah mengamati situasi sekitar dengan sangat berhati-hati. Kondisi gelap tak membuat dirinya lengah sedikitpun. Jemarinya sibuk memainkan teropong selagi membidik objek sasaran, demi menentukan titik yang tepat. Di depan matanya, berdiri sebuah rumah petak berukuran tidak terlalu besar. Cat dindingnya telah mengelupas dan pudar. Sementara sulur yang berasal dari tumbuhan rambat tampak memenuhi sebagian dinding di sisi kiri.

Wirya mengatur jarak pandang pada teropong. Tidak ada lampu penerangan di rumah itu. Pikirnya, arus listrik di rumah itu mungkin sudah diputus sejak lama. Sejak rumah itu ditinggalkan oleh pemiliknya tujuh tahun yang lalu.

Operasi mendadak ini direkam melaui kamera yang dipasang di saku baju Wirya. Komandan Roy, yang tidak terjun langsung ke lapangan, memberi komando dari ruang kontrol sembari menonton siaran langsung bersama Komandan Teguh. Suara beratnya masuk melalui earpice. Dia memberi perintah pada Wirya untuk mendekat ke rumah tersangka.

Safferizal melangkah terlebih dahulu.

“Sepertinya aku melihat bayangan senter di dalam rumah itu,” ujarnya tegang.

Safferizal mengangguk pada Wirya yang segera menyusul di sebelahnya. Keduanya berjalan mengendap-ngendap usai mendorong pagar kayu.

Wirya dan Safferizal mengendar pandang. Halaman rumah itu ternyata cukup luas. Dipenuhi semak belukar dan rumput yang tumbuh subur. Daun kering berasal dari pohon palem berguguran di satu sisi. Sebagian tertiup angin, kemudian terbang ke sisi lainnya. Di beberapa tempat, menggunung sampah plastik yang tampaknya tidak pernah tersentuh tangan manusia. Membuat halaman rumah terlihat begitu berantakan dan tidak terurus.

Mereka berjalan mendekat. Rumah petak itu tidak memiliki teras. Kaca jendela depannya berukuran cukup lebar, meluruskan sorot cahaya senter yang selintas bergerak-gerak di dalam sana.

Wirya bersiap di depan pintu dengan revolver teracung di tangan. Sementara Safferizal merapat pada dinding, turut menyiagakan revolver dan senter kecilnya. Wirya menghitung mundur. Tiga, dua, satu, lalu mendobrak pintu dengan sangat keras hingga bunyi hantaman menguasai sambungan earpiece selama beberapa saat. Aksi yang dilakukannya itu berhasil membuat orang-orang di dalam rumah tersebut menjadi kalang kabut.

“Jangan ada yang bergerak!” suara Safferizal menggelegar. Membuat orang-orang itu spontan berdiri. Beberapa mencoba lari. Namun, begitu Wirya menembakkan peluru kosong—sebagai tembakkan peringatan—ke atap rumah, mereka kontan terpaku di tempat.

Wirya menyorot cahaya senter untuk mendapati wajah tiga pria yang tengah tersilau olehnya. Mata mereka menyipit sebagai reaksi alamiah. Kesempatan tersebut Wirya gunakan untuk mempelajari wajah ketiganya. Sayang sekali, di antara mereka, tidak didapatinya wajah Alfian. Wajah oriental dengan luka bakar kecil di belakang leher—tersangka yang mereka cari.

CIRCLE [Revisi]Where stories live. Discover now