Bab 10: Mengulik Kisah

2.4K 307 33
                                    

Renata menelan ludah. Kedua mata Wirya tak lepas darinya. Tatapan perwira berpangkat Inspektur Polisi Satu itu begitu tajam. Seakan sanggup mengulitinya hidup-hidup.

Nyali Renata ciut dibuat Wirya.

Namun, Renata sudah bertekad untuk tidak mundur semudah itu dari keyakinannya. Dia merasa sangat bersalah untuk ayahnya. Menjebloskan seseorang yang tidak tahu apa-apa demi meraih prestasi dan kenaikan pangkat, Renata tidak bisa menerima hal itu. Selama beberapa tahun belakangan, tepatnya sejak ia tahu perihal kebenaran itu, dia mulai meragukan ayahnya. Dia selalu bertanya-tanya: apakah setiap anak tangga yang didaki sang Ayah untuk sampai menuju puncak, selalu meninggalkan jejak kotor seperti ini?

"Kenapa kau begitu penasaran?" tanya Wirya setelah mereka terdiam cukup lama.

Renata memejamkan kedua mata, lalu berkata dengan tegas, "Tujuh tahun yang lalu, AF dihukum untuk sesuatu yang tidak dia lakukan. Aku tahu ayahku ikut terlibat. Dan, itu sangat tidak adil."

"Lalu, apa? Kau ingin membersihkan namanya dengan melawan ayahmu?" Wirya mendengkus sinis. "Hah! Jangan bercanda."

"Aku tidak sedang bercanda, Inspektur," jawab Renata dengan raut wajah yang terlihat dua kali lipat lebih serius.

Wirya tersenyum miring. Sesuatu di dalam dirinya semakin terpacu untuk memupus harapan wanita di hadapannya itu. "Lalu, bagaimana caramu membuktikan ketidakbersalahannya?"

"Seorang jurnalis punya pena sebagai senjata. Jika kau bersedia diwawancarai, aku yakin—"

"Membersihkan nama seseorang itu bukan tugas seorang jurnalis," Wirya buru-buru menyela sebelum wanita itu salah kaprah dalam mengartikan persepsinya. "AF sendirilah yang seharusnya membersihkan namanya dari tuduhan itu. Jika dia merasa hukuman yang dia terima tidak benar, dia bisa saja mengajukan banding pada saat itu. Tapi, apa? Dia hanya diam selama ini, dan baru menunjukkan taringnya begitu keluar dari penjara."

Renata terdiam bersama benaknya yang masih berupaya mencerna kata-kata Wirya. Sesaat, dia ... terpesona dengan cara Wirya berbicara. Mulut pria itu memang sedikit pedas, tetapi apa yang dia ucapkan merupakan sebuah kenyataan yang tak bisa Renata sanggah. Wirya menolak membantu. Dan, rasanya Renata bisa menerima itu semua tanpa banyak protes.

"Jika memang benar AF adalah tersangka utama dalam kasus yang kami tangani saat ini, dia mungkin tidak punya waktu lagi untuk membersihkan namanya. Sayang sekali, dia sudah menyia-yiakan statusnya sebagai narapidana bebas bersyarat. Aku juga tidak mengerti kenapa dia malah membalas dendam dengan membunuh anak perempuan dari Komandan kami. Padahal penyidik yang terlibat waktu itu bukan hanya Komandan kami saja."

Wirya sadar dirinya sudah bersikap keterlaluan. Dia menatap lekat-lekat kedua iris mata Renata ketika melontarkan kalimat terakhirnya. Dia hanya ... berkata sesuai fakta. Sebab, tampaknya memang hanya Komandan Roy lah yang terlihat begitu kukuh mempertahankan aib itu. Jadi, Wirya rasa dia tidak perlu menutup-nutupi hal ini lagi.

Renata menghela napas gusar. "Kau benar, bisa jadi akulah yang dibunuh," timpalnya.

Wirya menatap jam di pergelangan tangan, tidak terlalu mempedulikan ucapan Renata. Dia seperti diburu waktu. Renata yang menyadari perubahan sikapnya pun bertanya, "Apa kau sedang terburu-buru?"

"Begitulah. Aku harus pergi ke suatu tempat."

"Ke mana?"

Wirya melirik Renata lewat ujung matanya, kemudian menjawab. "Lapas."

____________________________________

Wirya mengemudi dalam diam. Dia melarikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Di sebelahnya, Renata tampak melamun. Wanita itu menatap keluar jendela, menikmati pemandangan yang tampak berseliweran mengikuti pergerakan mobil yang mereka kendarai.

CIRCLE [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang