Prolog

1K 128 4
                                    

Sebuah mobil menepi di pinggiran jalan Bukit Dangas. Lampu sorot depan dipadamkan, menyisa gelap dan suara mesin yang masih menyala. Pukul setengah dua belas malam, suasana begitu sepi di tempat itu. Tidak ada seseorang ataupun mobil yang melintas di sana. Begitu selesai menyarungkan handscoon di kedua tangan, si pengemudi, seorang pria ber-jumper hitam dan bertopi lidah, keluar dan menutup pintu.

Pria itu mengitari mobil untuk membuka bagasi. Di dalam sana, sebuah koper berwarna cokelat tua tergeletak bersama perkakas bengkel. Diperiksanya koper itu baik-baik. Setiap bagiannya, setiap incinya, tidak luput dari sentuhan jemarinya. Dia mengelusnya dengan penuh sayang, memperlakukan koper tersebut laiknya anak sendiri.

Pria itu menyeringai lebar. Tekstur koper tersebut dirasanya lebih halus dan mewah, tidak seperti koper yang pernah dia curi tujuh tahun lalu.

"Ah, ya. Tentu saja, berbeda," serunya diakhiri suara kekehan. Koper tersebut dibelinya dengan harga cukup fantastis. Selain itu, didesain khusus dengan nomor seri sehingga orang-orang dapat dengan mudah menemukan identitas si pemilik.

Isi di dalam koper berguncang ketika pria itu mengangkatnya. Dia melangkah perlahan, melewati luasnya hamparan padang ilalang yang sedang bermekaran, mendekati tiang lampu jalan yang berdiri sekitar empat meter di depan sana. Usai menilik situasi di kanan-kiri, pria itu bergegas masuk ke dalam rimbunnya padang ilalang. Dihitungnya tiap jengkal langkah. Satu. Dua. Tiga. Hingga dua puluh langkah berikutnya dia berhenti dan menjatuhkan koper itu.

Dia memilih tempat yang sempurna. Pertunjukan baru akan dimulai saat pagi tiba. Pria itu segera berbalik, lalu berderap kembali menuju mobilnya.

Dia menyalakan radio, lalu memilih siaran yang saat itu tengah memutar lagu Sepanjang Jalan Kenangan. Bibirnya terkatup rapat, menggumankan suara, menirukan lantunan lagu jadul tersebut. Betapa masa lalu terasa sangat begitu dekat saat dia meresapi lagu itu.

"Aku suka lagu ini. Bagaimana denganmu?" tanya pria itu pada perempuan yang duduk di sebelahnya.

Hening. Pria itu tidak kunjung mendapat jawaban dari si lawan bicara. Dia tersenyum simpul. Semesta seolah mendukung. Saat lirik lagu sampai pada penggalan kalimat hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu, hujan benar-benar mengguyur tempat itu. Dia memeriksa arloji di pergelangan tangan. Seperempat menit lagi menuju pukul dua belas malam.

"Baiklah. Aku akan mengantarmu sekarang."

Pria itu segera memacu mobil. Meninggalkan area padang ilalang dan koper mewah itu di belakang.

Sepanjang perjalanan, dia tak berhenti bersiul.

CIRCLE [Revisi]Where stories live. Discover now