Bagian Sembilan

1.4K 18 1
                                    

SEMBILAN


Sebastianmencari kontrakan murah yang di pemukiman gang-gang kecil. Seminggusetelah itu dia telah menemukan usaha yang cocok baginya, yaitumembuka usaha menjual kaos bertema gambar game, suatu bisnis yangmasih belum banyak digarap di daerah situ. Diapun menyewa sebuah kioskecil untuk dijadikan outlet.Dengan konsep produksi sendiri, maka dia memutuskan untuk membelialat sablon yang biasa disebut dengan DTG (DirectTo Garmen).Komputer dia beli salah satu toko komputer yanga di pojok pertigaangang, dia memilih membeli baru. Dan untuk sofware desainnya, diamemilih menggunakan sofware Lazarus, itulah yang dulu pernah iapelajari.

Dengantrainingyang singkat, sebastian mampu menggunakan alat itu dengan baik. Dalambulan-bulan awal, pendapatan dalam bisnisnya masih minus, tapi diatetap bertahan. Tapi akhirnya dalam kurun waktu yang relatif singkat,yaitu lima bulan, bisnis nya bangkrut. Alokasi dana untuk biayaoperasional habis tak berbekas. Sebastian sangat terpukul ataskondisi ini. Uang yang ada pada dirinya tinggal tiga puluh tujuhjuta. Kini hanya itu yang dia punya, plusalat-alat lengkap DTG yang menjadi alat utama bisnisnya selama ini.Dilema tersendiri baginya, uang sisa itu digunakan untuk membukabisnis baru ataukah mempertahankan bisnis kaos bertema gambar gameini.

Diakemudian teringat dengan kakek tua yang lima bulan kemarin berkenalandengannya. Dia ingin meminta nasehat pada kekek tua itu. Dalam halbisnis mandiri seperti ini, Sebastian merasa masih awam dan perlubanyak belajar. Sebastian memandang bahwa kakek tua itu akan mampumembimbingnya menuju kesusksesan, karena dia sendiri adalah orangyang sukses. Selain itu, dia memang sudah rindu sekali dengan kakektua itu.

Sebastianmenaiki sepeda motornya, dengan kecepatan sedang. Kedewasaanya dalammengendarai kendaraan kini terlihat jelas. Dulu dia seringkebut-kebutan, tapi kini dia bisa lebih menghargai pengendaralainnya. Dalam pikirannya terselimuti rasa yang tak karuan, diadiambang kebangkrutan. Uang tiga puluh tujuh juta dan alat lengkapDTG yang dimilikinya sedikit bisa menghiburnya.

Diamelewati rumah makan yang dulu menjadi tempat perkenalannya dengankakek tua itu. Dia melihat dan mengingatnya dengan senyum. Dia sangatmerindukan kewibawaan yang ditunjukkan oleh kakek tua yang bernamaWidodo Suryadinata itu.

Sesampainyadi depan rumah mewah itu, tak banyak perubahan. Baik mengenai halamandepan maupun cat rumah. Semuanya tetap seperti lima bulan lalu.Sebastian senang sekali melihat satpam yang sedang duduk di depan posjaganya. Dengan cepat dia menyapanya.

"Assalamualaikum,pak Kali," ucap Sebastian. Kali ini ia mengucapkan salam terkesanlebih lancar, mungkin karena mulai terbiasa, atau pula mungkin karenasakingsenangnya dia kembali menjumpai satpam itu, yang dulu membantunyamengganti ban mobil. Yang bagi Sebastian hal itu sangat sulit, bahkansampai saat inipun dia masih belum bisa. Dan mobilnya pun kini sudahterjual untuk modal usaha.

"Waalaikumsalam," jawab satpam itu. Sambil mengingat-ingat, karena sepertinyawajah itu pernah dikenalnya.

"PakKali, apa kabarnya?"

"Oh,ini Mas Sebastian ya?"

"Ohiya, iya Pak Kali, saya Sebastian."

"Oh,Mas Sebastian, mari silahkan masuk. Mas datang dari Semarang, hanyauntuk menjenguk kakek?"

"Sebenarnyasaya ada di Solo sini kok Pak,"

"Loh,Romo bilang Mas Sebastian di Solo ini hanya untuk mengunjungi familiMas saja?"

"Iya,ceritanya panjang. Kakek mana?"

"Ohya, ada di dalam Mas, mari saya antar."

"Kakekdan Istri Pak Karmin gimana kabarnya."

Waktu Tak Pernah Menyembuhkan LukaWhere stories live. Discover now