Chapter 17

4.6K 368 5
                                    

Mingguo menarikku pergi dari hadapan orang asing itu, dia terus menarikku hingga di jalan sepi, lalu menatapku. Kami tak tahu apa yang harus dibicarakan, hingga akhirnya dia sendiri yang berbicara padaku.

“sebagai salah seorang bunga kota peking kau harus menjaga diri, lain kali berhati-hatilah”

Mingguo pamit padaku, saat dia berbalik aku menahannya. Aku tak dapat menghindar begitu saja, aku berpikir harus meminta maaf padanya.

“Yang Mulia . . . .maafkan aku . . . .aku benaran tulus ingin berteman denganmu. Aku Cuma tak mau kalian merendahkanku hanya karena aku seorang perempuan” aku menunduk lesu.

Mingguo tak memberikan komentar apapun, aku sudah menduga hal ini akan terjadi, tak terduga Mingguo mengacak-acak rambutku, dia tertawa.

“bukankah aku sudah bilang padamu, panggil namaku atau sebut aku teman?” Mingguo tersenyum padaku. “lagian aku juga bersalah terlalu berlebihan. Sebentar lagi kita juga akan  . . . “

Mingguo berhenti sebentar, dia berniat merangkulku, diurungkan niatnya ketika dia melihat penampilanku yang sangat feminim, tangannya berhenti setengah jalan, dia sendiri jadi salah tingkah.

“nanti saja aku ceritakan sambil berjalan, ayo kuantar pulang” Mingguo melambai padaku.

Kami berjalan bersama menuju kediaman keluargaku, dalam hati kau bersyukur dia dapat memaafkanku, sekalipun dia menolak, aku berharap dapat melihatnya dari jauh.

“hei, Fuxin . . . er??” Mingguo kebingunan  mencari panggilan.

“namaku Chen Furong”

“oh. . .  Furong, kau tahu hari ini aku sangat gembira”

“oh ya? Kejadian apa yang membuatmu gembira?” tanyaku penasaran.

“kakakmu telah setuju menjadi istriku”

Langkah kakiku berhenti, aku seperti terpaku disana, hatiku membeku, wajahku kaku dan pucat. Mingguo kembali padaku dia melihatku tak mengerti. Di tempelkannya punggung tangannya di dahiku.

“apa kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali”

Kutepis tangannya, sepertinya mataku memerah menahan air mata, tanganku gemetaran, hatiku ikut berdenyut-denyut sakit.

“aku baik-baik saja . . . .sedikit ngantuk, selamat ya . . . “ ku paksakan senyuman kearahnya.

“aku bersyukur, sebentar lagi kita akan menjadi iparan” Mingguo berjalan kembali.

Aku tak kuat lagi, aku berlari secepat mungkin kembali ke kediaman keluargaku. Air mataku meleleh menbasahi pipiku. Aku meraba hatiku yang rasanya ditusuk-tusuk oleh jarum, tenggelam dalam kesedihan.

“aku bodoh . . .bodoh!” teriakku lirih.

Suara petir menggelegar ke setiap penjuru, hujan mulai turun membasahi seluruh tubuh dan pakaianku. Aku sudah tak dapat menbedakan mana air mataku dan bagian mana air hujan, mereka bercampur aduk menjadi satu, aku menarik rokku yang terasa berat terus berlari menuju rumah.

“bahkan langit pun mengejekku!” batinku dalam hati.

Pandanganku buyar, aku melihat sosok lelaki berdiri diluar kediaman keluarga kami dia menbawa payung. Aku tak peduli masih terus berlari dan kini dalam jarak pandang yang dekat aku dapat melihat jelas wajah orang itu, Mingli berdiri beberapa kaki dariku, dia menatapku terkejut. Buru-buru dia menghampiriku, melindungiku dengan payungnya.

“apa yang terjadi?” tanyanya perhatian.

Dia memegang lenganku kuat, aku tak dapat kabur. Kualihkan wajahku darinya agar dia tak melihatku menangis menyedihkan seperti ini, sepertinya dia telah melihatku menangis nada bicaranya melembut dan terdengar pilu.

“kenapa kau menangis? Bisakah kau katakan padaku siapa yang membuatmu menangis?”

Walau dia sudah berkata demikian, aku tetap bungkam tak ingin menatapnya. Beberapa menit telah berlalu, kami masih berada dalam keadaan diam. Waktu terus berlalu Mingli tak dapat bersabar lagi, dia memegang wajahku memaksaku menatapnnya.

“tatap aku! Kenapa kau menangis? Tak bisakah kau bicara jujur padaku seperti aku tulus padamu!? Bukankah aku bilang aku akan selalu ada untukmu?!” dia sangat marah sekarang.

Mata kami bertemu, dalam bola matanya yang hitam dapat kurasakan kemarahannya, entah khayalanku atau tidak, mata itu seolah bukan marah padaku tetapi lebih pada dirinya. Semakin lama aku menatapnya, pertahannanku runtuh, mata itu membuka pintu hatiku menbuatku mencurahkan segalanya pada pemiliknya.

“aku . . . “ akhirnya aku menbuka suaraku. “ aku bodoh! BODOH! Aku tak seharusnya memberikan hatiku pada orang yang tak pernah memandangku . . . aku Bodoh! Sejak awal aku sudah tahu dia menyukai jie-jie, aku masih tetap terperosok kedalamnya, aku benar-benar BODOH!!” aku memukul-mukul keras kepalaku terus menerus.

Mingli menbuang payungnya, dia menarik kedua tanganku mehentikan aktivitas penyiksaan diriku. Tubuhnya mulai basah kuyup tetapi dia tak memperdulikannya, dia menarik tubuhku menuju dekapan tubuhnya, hangat seperti biasanya, wangi yang sangat kukenal.

“setidaknya ini yang dapat kulakukan . . . “Mingli berujar lirih

Only LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang