Demi Airi - oleh: Vina Sri

162 12 4
                                    


Sosok itu menutupkan selimut ke seluruh tubuh saat lampu menyala. aku memerhatikan sekeliling kamar. Hanya ada sebuah ranjang kayu kecil dengan sprei bermotif bunga sakura. Meja kecil kosong di bawah jendela tertutup tirai biru muda polos. Tak ada apa-apa lagi. Kosong. Bahkan laba-laba saja seolah enggan membuat sarang di sana.

Di samping ranjang, seseorang bersandar di tembok. Seluruh tubuhnya tertutup selimut.

Tiba-tiba, lampu kembali padam. Keadaan kamar kembali gelap. Hanya seberkas cahaya matahari yang susah payah menembus tirai, nyaris tak berarti.

Aku menoleh dan menemukan Bi Nah menarik tangannya dari stop kontak.

"Airi tidak suka jika lampu dinyalakan," bisik Bi Nah. Bi Nah berjalan perlahan menuju sosok di dinding. Tangannya terulur menarik selimut yang menutupi Airi.

Seorang perempuan, jika melihat dari rambut panjang dan baju tidur yang dia kenakan, memeluk lutut dan membenamkan kepalanya di antara kedua kaki. Rambutnya yang terurai menutupi sebagian kaki. Dia bergeming saat Bi Nah mengusap kepala dan menyibakkan rambutnya.

"Dia terus begini sejak peristiwa itu," suara Bi Nah bergetar.

Mataku mengerjap. Perlahan mendekat dan berlutut di samping Bi Nah.

"Ai..." sapaku pelan. tanganku menepuk halus bahunya.

Kurasakan tubuh Airi menegang, kepalanya terangkat. Kamar yang gelap tidak dapat menyembunyikan sinar matanya yang nyalang. Dia menatapku dengan ketakutan. Sebelum aku sadar, Airi berteriak. Suaranya sungguh menyayat, seolah dia sedang menanggung seluruh derita di dunia. Sontak aku berdiri dan mundur beberapa langkah.

Bi Nah memeluk Airi dan menenangkannya. Butuh waktu cukup lama sebelum isak Airi berhenti. Dengan lembut, Bi Nah membimbing Airi ke atas tempat tidur, memintanya berbaring lalu menyelimutinya.

Aku memerhatikan dua orang di depanku tanpa mampu bergerak. Aku seolah tidak terlihat di mata mereka. Bi Nah mengelus rambut Airi sambil bersenandung. Perlahan, napas Airi mulai teratur, matanya tertutup. Kamar kembali sunyi.

Bi Nah berdiri perlahan, merapikan rambut Airi yang menutupi wajah dan mengecup keningnya perlahan. Bi Nah seolah sedang memperlakukan sebuah boneka porselen yang rapuh. Bi Nah menghela napas, memberi isyarat agar aku mengikutinya keluar kamar.

Aku membiarkan Bi Nah termenung-menung di kursi depan. Teh hangat yang dia sajikan sudah dingin. Kami sudah meninggalkan kamar Airi beberapa menit lalu, dan sejak itu belum satu katapun keluar dari mulut Bi Nah. Aku membiarkan dia tenggelam dalam pikirannya. Ada perasaan segan untuk menegur lebih dulu.

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan baru saja turun, rintik-rintik. Taman kecil di samping rumah terlihat segar dengan guyuran air hujan. Bunga mawar dan anyelir sedang lebat berbunga. Beberapa kuncup melati mengintip di antara rimbun dedaunan. Beberapa rumput liar mulai bergerombol dan meninggi Sepertinya, tak ada yang berinisiatif untuk mencabutinya.

"Dulu, Airi yang rajin merawat tanaman-tanaman itu," suara pertama Bi Nah setelah kebisuan di antara kami.

Aku menoleh, "Ya," timpalku singkat. Aku kembali menatap Bi Nah, memintanya bicara lebih lanjut.

"Airi suka bunga. Melati itu, bibitnya dia dapat dari Tantenya di Jakarta. Kalau mawar, seorang teman mengajar yang memberikannya." Bi Nah bicara di hadapanku, tapi suaranya seolah berasal dari tempat yang jauh.

"Setiap pagi dan sore, dia pasti akan menyiram tanamannya. Mencabuti rumput liar, menebarkan pupuk, dia merawatnya dengan baik." Mata Bi Nah menerawang. Tiba-tiba dia terkekeh, "Airi suka mengajak bicara tanaman-tanaman itu."

THE VOICE OF WOMEN (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora