Waiting for Menstruation - oleh: Orina Fazrina

106 5 2
                                    


Suasana kelas di SMP Mentaya seketika sepi saat bel tanda persiapan salat berjamaah berbunyi. Siswa-siswi ramai keluar kelas. Masing-masing membawa alat salat menuju masjid. Hanya beberapa yang tinggal, yakni mereka yang non muslim dan siswi yang sedang menstruasi.

Di antara kumpulan kecil siswa yang sedang berjalan, Riani melangkah dengan wajah murung. Pandangannnya sesekali mengarah pada perpustakaan. Menatap iri pada siswi-siswi berhijab di sana.

Bukan. Riani bukan iri karena mereka yang di sana karena tidak salat. Melainkan iri karena mereka sedang dan bisa menstruasi.

Sementara Riani tidak.

Jujur saja, Riani juga ingin dapat tamu bulanan itu. Namun sayang, tamu bulanan itu tak kunjung datang.

"Ri?" tegur Salmah, teman sekelasnya. Gadis itu buru-buru mensejajari langkah Riani. "Perasaanku kamu salat terus. Kamu masih belum menstruasi, ya?"

Pertanyaan Salmah yang cukup menohok itu membuat wajah Riani memerah. Dia malu ketahuan belum menstruasi sampai sekarang.

"Iya, ya! Riani salat zuhur berjamaah terus. Tidak pernah absen dari kelas 7 dulu," sahut Tika yang ada di samping Riani.

"Bener, kan?" ucap Salmah. "Padahal sudah kelas 9, ya? Masa masih belum mens juga?" heran Salmah yang mengundang perhatian siswi lainnya.

"Tahu!" jawab Riani tak acuh. Tak ingin ditatap dan makin malu, Riani pun melangkah cepat. Meninggalkan beberapa pasang mata yang menatapnya ingin tahu.

Sepanjang jalan menuju ke masjid, Riani menggerutu. Bukan kehendaknya jika tidak kunjung haid. Kata Bunda pun, hal ini masih wajar. Ada yang baru haid saat usia 16 tahun.

Akan tetapi, pada akhir salatnya, Riani berdoa sendiri. Doa yang sering dia panjatkan akhir-akhir ini, yakni: semoga Tuhan membuatnya menstruasi, kalau bisa, besok.

***

Keesokan harinya, seperti hari-hari kemarin, begitu bangun tidur Riani langsung ke kamar mandi. Dia mau mandi, sekalian melihat celana dalam. Riani berharap, ada noda merah di sana. Namun sayang, kali ini pun tidak ada noda darah di sana.

Riani jelas kecewa. Dia keluar kamar mandi dengan wajah berlipat.

"Kenapa anak Bunda kusut begitu mukanya?" tegur Bunda yang sedang mencuci beras di dapur.

"Bunda, Riani izin hari ini, ya?" pinta Riani dengan wajah memelas. Dia memeluk lengan Bunda dengan manja.

"Kenapa? Kamu sakit?" tanya Bunda sambil menyentuh kening Riani dengan punggung tangannya.

"Sakit hati, Bunda," lirih Riani dengan wajah menderita.

"Loh?" Bunda kaget. "Sakit hati?" ulang Bunda tak percaya. "Masih SMP udah berani cinta-cintaan, ya!" sewotnya sambil mencubit tangan Riani gemas.

"Sakit, Bun!" Riani meringis dan menjauhkan sedikit tubuhnya. "Bukan sakit hati karena cinta," belanya. "Tapi sakit hati gara-gara belum juga menstruasi. Riani malu ditanyain teman terus."

Bunda mendengus geli. "Bunda kira karena cinta. Kalau itu sih, santai saja dulu. Sabar," ujar Bunda sambil meniriskan beras, lalu memasukkannya ke penanak nasi listrik.

Riani menggeleng, menolak nasehat Bunda. "Riani malu, Bun. Teman-teman sampai heran karena Riani belum juga mens. Mana Riani lihat di facebook, ada yang menyebarkan berita soal salah jenis kelamin."

"Hah?" Bunda sekali lagi terkejut dengan ucapan putrinya.

"Beritanya masuk TV juga. Katanya, remaja itu tidak kunjung menstruasi sampai SMA. Setelah dicek di rumah sakit, ternyata jenis kelaminnya laki-laki."

THE VOICE OF WOMEN (END)Where stories live. Discover now