Maraton - Oleh: Donna Widjajanto

79 4 0
                                    


Hidupku rasanya bak maraton yang panjang. Langkah demi langkah, kaki harus terus berayun maju. Tarikan demi tarikan panjang, napas terus diembuskan.Aku harus menghemat tenaga dan memperhitungkan segalanya, sebab aku tidak tahu kapan garis finis akan menjelang.

"Dita, Arif pengin lo yang liputan acara musik klasik itu," kata Ami sambil melongok ke kubikelku. Ami dan aku bekerja di portal berita online, MyJakarta.com. Adalah tugas kami meliput berbagai kegiatan yang terjadi sepanjang hari di Ibu Kota, termasuk kegiatan budayanya.

"Duh... Nggak bisa elo aja, Mi?" keluhku.

"Dit, kalo ngeliput Chainsmokers, itu baru bagian gue," kata Ami sambil tersenyum. "Pokoknya yang jingkrak-jingkrak, gue dah yang maju. Tapi kalau musik klasik... Gue angkat tangan dah... Lagian, bukannya itu bisa nambahin referensi ngajar lo?"

"Yah, abisan undangan dadakan gitu. Kalo nggak dadakan, gue bisa ajak murid-murid gue ikut nonton," keluhku. "Abis jam kantor gue ngajar, Mi. Elo kayak nggak tau aja..."

Ami mengangkat bahu. "Bilang sendiri dah ke Arif," katanya sebelum berlalu.

Aku memejamkan mata, lalu mengusap wajahku gusar. Masih ada dua artikel yang harus kuselesaikan sebelum jam kantor usai. Begitu jam kantor selesai, aku harus langsung mengejar naik kereta ke rumah murid les pianoku di Kemayoran. Satu jam mengajar, lalu pindah ke rumah murid yang lain di daerah Kwitang. Mengajar satu jam lagi, barulah hariku bisa disebut "selesai". Saat itu terjadi, waktu sudah menunjukkan kira-kira jam sembilan malam. Sudah bagus kalau aku bisa masuk rumahku di kawasan Matraman sekitar setengah jam kemudian. Itu pun belum tentu aku bisa langsung istirahat.

Ponsel di mejaku berdering. Aku menatap nanar sejenak, sebelum tatapanku fokus pada nomor yang tertera di layar. Rumah.

"Halo?" sapaku begitu telepon tersambung.

"Mbak Dita, ini susu sama pampers habis. Ini beberapa keperluan lain juga sudah habis," kata Sus Prapti.

Aku menghela napas. "Ya sudah, Sus tolong WhatsApp-in saja daftarnya ya. Nanti pulang saya mampir ke Pramuka," kataku.

"Iya, Mbak," katanya.

"Ya sudah ya, saya masih mesti..."

"Mbak," Sus Prapti memotong ucapanku, "saya mau ambil cuti hari Sabtu nanti, soalnya suami saya minta saya pulang kampung sebentar. Ada urusan..."

"Aduh, Sus," ganti aku yang memotong ucapannya, "kok baru bilang sekarang. Terus nanti gimana? Ada yang gantiin nggak?"

"Insya Allah ada infal, Mbak. Saya sudah bilang Ibu Darmo, katanya ada yang bisa infal. Insya Allah saya cuma pulang lima hari, Mbak. Saya langsung balik lagi," kata Sus Prapti cepat.

Aku hanya bisa memijat pelipisku. Infal artinya aku harus menyediakan biaya ekstra. Tapi marah berkepanjangan pada Sus Prapti tidak ada gunanya. Dia bisa saja malah sakit hati, dan memutuskan tidak kembali kerja di rumah kami, padahal dia sudah sangat cocok dengan kami.

Aku menghela napas lagi, "Ya sudah, tapi pastikan kamu balik dalam lima hari ya. Artinya hari Rabu sudah harus balik ke sini. Jangan molor di kampung!"

"Ya, Mbak," jawab Sus Prapti riang.

"Lain kali, bilang jauh-jauh hari, biar saya bisa urus cuti atau menyiapkan biaya infalnya," kataku lagi.

"Ya, Mbak," jawab Sus Prapti lagi.

"Nanti saya pulang malam, ngajar dulu. Jangan lupa WhatsApp apa saja yang habis," kataku mengingatkan.

***

Di saat-saat seperti ini, aku merindukan Ibu. Ibu sepertinya selalu bisa mengatur segala hal dengan rapi. Bisa dibilang sepanjang masa tumbuh kembang, aku tidak pernah mengalami gejolak yang berarti. Tentu ada riak-riak kecil, jatuh dari sepeda, bertengkar dengan teman, menabrak pagar saat belajar naik sepeda motor. Tapi, semua itu dapat diselesaikan dengan cepat dan mulus, tidak meninggalkan bekas.

THE VOICE OF WOMEN (END)Where stories live. Discover now