32. Mimpi Buruk

2.8K 438 32
                                    

Menurut kalian, gimana side story yang aku buat di part sebelumnya? Comment ya!🤗

Happy reading!✨

---

Jarum jam sudah  merambat menuju angka 11. Dari balik jendela, Kanaya bisa melihat langit yang penuh dengan bintang, juga bulan purnama yang menerangi langit. Biasanya ia akan berada di balkon, menikmati udara dingin yang menyentuh kulitnya, namun tidak untuk hari ini.

Kanaya masih menemani Adriel di dalam ruang inap yang ditempati Iren. Adriel hanya membeku disamping tubuh Iren. Di dalam ruangan juga sudah ada Flo dan Dimas yang langsung menuju ke rumah sakit begitu Kanaya mengabari mereka.

Dimas menepuk bahu Adriel dua kali, membuat pemuda itu langsung mengangkat wajahnya dan menatap Dimas dengan sorot mata yang hampa. "Om dan tante Flo pulang dulu ya. Kamu harus tenang, om yakin Mama kamu kuat."

Adriel mengangguk kuat, ingin sekali mempercayai ucapan Dimas. Setelahnya, Dimas menghampiri Flo dan Kanaya yang berdiri di sisi ruangan. "Kanaya, kamu pulang dengan Ayah dan Bunda?"

"Kanaya boleh tetap disini?" tanya Kanaya. Ia tidak tega meninggalkan Adriel hanya sendirian disini.

Dimas memandang Flo sebentar---meminta persetujuan dari istrinya, sebelum akhirnya kembali menatap Kanaya setelah Flo memberikkan anggukan samar. "Kamu boleh tetap disini, tapi besok pagi Ayah akan jemput."

Kanaya tersenyum, sebelum akhirnya mengantarkan kedua orang tuanya ke depan pintu berwarna putih yang merupakan pintu kamar inap Iren. Setelahnya, Kanaya kembali masuk ke dalam kamar inap Iren yang begitu senyap, hanya diisi oleh suara nyaring dari mesin EKG yang ada di sebelah ranjang Iren.

Kanaya duduk di belakang sofa yang ada di sisi ruangan, tepat di belakang Adriel. Adriel sendiri belum beranjak dari sisi kasur Iren, ia bahkan tidak bergerak sama sekali. Hanya diam membeku sembari menghela nafas berat sesekali.

Adriel baru beranjak dari duduknya saat jarum jam sudah merambat menuju angka 12. Cowok itu mengambil tempat di samping Kanaya, kemudian tanpa mengucapkan apa-kanaya, ia menyandarkan kepalanya di bahu Kanaya.

"Makasih," ucap Adriel singkat.

"Untuk apa?"

"Karna bertahan di sisi gue," kata Adriel, hampir berbisik. Adriel menggerakan kepalanya sedikit, mencari posisi nyaman di bahu Kanaya. "Makasih untuk itu."

"Aku nggak mungkin ninggalin kamu sendirian disin--"

"Bukan," sela Adriel. "Bukan hanya untuk kali ini, tapi untuk selama ini."

"Lo masih tetap disisi gue bahkan saat gue selalu berlaku nggak baik terhadap lo," kata Adriel.

Adriel tidak pernah menduga ia akan sesayang ini kepada seseorang. Bukan, bukan berarti ia tidak pernah membayangkan jika ia tidak akan memberikan perasaan lebih kepada seseorang, tetapi ia tidak menyangka akan sejatuh ini.

Namun jika Adriel diberi kesempatan untuk merubah masa lalu, Adriel akan memilih mengulang semuanya. Baik atau buruk, semuanya telah membawa Adriel semakin dekat kepada Kanaya.

Sekarang, Adriel punya dua perempuan penting di dalam hidupnya. Perempuan yang membuat Adriel mampu melakukan apapun demi mereka. Dua perempuan yang lebih berharga dari apapun, bahkan dari hidup Adriel sendiri.

Ibunya dan Kanaya.

Adriel tidak akan pernah mampu kehilangan salah satu dari mereka. Dan sekarang, melihat ibunya yang hanya terkulai lemah dengan alat bantu pernafasan membuat tenggorokan Adriel terasa tercekat. Ia bisa merasakan dadanya yang sesak dan tangannya yang mendingin.

Tsundere [Completed]Where stories live. Discover now