33. Tentang Adriel

2.5K 424 12
                                    

Halo!🌟

Mau nanya dong.

Enaknya aku upload tuh sekitar jam 8-9 malam (seperti biasa gini) atau gimana?

As always,

Happy Reading!✨

---

Adriel baru saja keluar dari toilet di ruang inap ibunya saat ia melihat jemari Iren yang bergerak perlahan. Debar jantung Adriel memburu bersamaan dengan ia yang langsung meraih tombol di sisi ranjang Iren dan menekannya untuk memanggil Dokter ke ruangan.

Tak butuh waktu lama untuk pintu putih ruangan Iren terkuak, lalu seorang pria paruh baya berjas putih masuk bersama dua orang perawat lainnya.

Adriel mengambil langkah mundur, memberi ruang untuk dokter memeriksa ibunya. Adriel mengepalkan tangannya kuat-kuat, dan mengucap seutas kalimat penuh harap di dalam hatinya secara berulang-ulang. Ada begitu banyak rasa yang bermain di benaknya, namun satu yang paling mendominasi; lega.

Adriel tidak mau berbohong jika hari-hari terakhir yang ia habiskan penuh dengan pikiran-pikiran buruk. Ia membayangkan hidupnya jika tidak ada Iren, dan Adriel tidak melihat apa-apa. Adriel tidak bisa kehilangan Ibunya, tidak untuk kapanpun.

"Ibu kamu sudah melewati masa kritis," kata sang dokter kepada Adriel, yang sukses mengangkat beban berat dari pikiran Adriel. "Tapi Ibu Iren belum bisa terlalu diajak berbicara, beliau masih harus mendapat banyak istirahat."

Adriel menghampiri ibunya saat dokter dan dua perawat tadi keluar dari ruang inap Ibunya. Ada senyum kecil di bibir Iren, yang membuat Adriel lega bukan main. "Mama buat Adriel khawatir," desis Adriel.

Untuk sekarang, Adriel tidak ingin menanyai ibunya apapun dulu, termasuk kecelakaan yang menimpa Ibunya. Ia hanya ingin Iren keluar dari rumah sakit dengan keadaan sehat, itu saja.

"Maafin Mama, ya," ucap Iren, hampir berbisik.

Adriel mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia benci melihat orang-orang yang ia sayangi seperti ini. Tidak Iren, tidak Kanaya. "Adriel yang salah karena nggak bisa jagain Mama."

Suara pintu yang terbuka membuat perhatian Adriel dan Iren teralih. Disana, sosok Kanaya yang masih terbalut dengan seragam putih abu-abu berdiri, kemudian mendadak membeku karena dua hal; Iren yang sudah sadar, dan ia baru saja mengganggu obrolan Ibu dan anaknya.

"Eh, ma-maaf," kata Kanaya dan berniat untuk menutup pintu kembali, sebelum suara Iren yang memanggilnya membuat ia kembali mendorong pintu agar terbuka.

"Iya, tante?"

"Ada yang mau tante katakan sama kamu."

Kanaya melemparkan tatapannya kepada Adriel sebentar, sebelum ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan serba putih itu.

"Adriel, Mama mau ngomong sama Kanaya," ucap Iren dengan suara yang masih terdengar tanpa tenaga. Adriel mengerti ucapan Ibunya yang berarti ia harus menunggu di luar. Cowok itu mengangguk, kemudian menggerakkan kakinya untuk keluar dari ruangan, walau ia sendiri penasaran dengan apa yang akan di ucapkan ibunya kepada Kanaya.

Setelah pintu tertutup, Iren menatap Kanaya dengan sebuah senyum keibuan di bibirnya. "Kamu apa kabar?"

Kanaya tersenyum. "Baik, tante. Aku seneng tante udah siuman. Tante emang wanita kuat seperti yang aku duga."

Iren meraih tangan Kanaya ke dalam sebuah genggaman lemah. "Kanaya, tante ingin berterima kasih sama kamu karena sudah menyayangi Adriel," ucap Iren dengan seulas senyum terukir di bibirnya. "Adriel sangat beruntung bertemu gadis seperti kamu, dan tante sangat bahagia karena Adriel bertemu kamu."

Tsundere [Completed]Where stories live. Discover now